#356 72: Jangan Percaya Apa Pun

June 24, 2015   

AKU masih tinggal di Chang'an sampai akhir tahun 800, demi kepentingan Panah Wangi yang kukira perlu ditemani dalam penyembuhan luka-lukanya akibat pertarungan dengan Harimau Perang. Luka sabetan pedang saling menyilang itu memang parah, bukan hanya karena kedalamannya, melainkan karena Harimau Perang agaknya telah merendam sepasang pedang melengkung itu ke dalam ramuan racun.

Kiranya racun itulah yang telah membuat Panah Wangi sulit berbicara, dan hanya setelah para tabib memeriksa sepasang pedang Harimau Perang sajalah, maka dapat diketahui obat penawar racun macam apa yang harus diramu untuknya.

Pedang itu sendiri sebetulnya sudah tenggelam ke dalam kolam yang cukup dalam bersama terceburnya Harimau Perang yang menyala terbakar, sehingga para pengawal terpaksa menyelam sampai ke dasar kolam untuk mengambilnya. Untunglah pedang itu tidak ikut hangus dan racun yang terserap di dalamnya masih bisa diperiksa. Kukira Panah Wangi beruntung dirawat oleh para tabib terbaik di seluruh Chang'an.

Sang Buddha berkata:

jangan percaya apa pun (hanya) karena sudah tertulis

jangan percaya apa pun (hanya) karena disebut suci

jangan percaya apa pun (hanya) karena orang lain mempercayainya

tetapi percayailah hanya yang dikau sendiri pertimbangkan sebagai benar 1

Selama Panah Wangi belum bisa bergerak dan belum bisa berbicara, aku selalu berada di dekatnya, supaya ia merasa tenang karena ada seseorang yang ia kenal bersamanya. Meskipun petak di sudut paling barat laut dari Pasar Barat itu berada dalam pengawalan ketat siang dan malam, sebagai bekas mata-mata tentara tentu Panah Wangi paham dirinya berada dalam kedudukan rawan.

Aku pun menyadari bahwa secara resmi Panah Wangi masih seorang buronan. Bukan tidak mungkin Pasukan Hutan Bersayap mengirim seorang penyusup untuk menculik atau membunuhnya, bahkan Dewan Peradilan Kerajaan yang terlucuti haknya mengapa tidak menyewa seorang pembunuh bayaran pula? Menembus penjagaan tenda seperti ini, seorang penyusup bisa menggunakan ilmu landak, yakni menggali lubang di suatu tempat dan menerobos melalui bawah tanah untuk muncul lagi di dalam tenda. Seorang penyusup yang berpengalaman dapat melakukannya dengan kehalusan tingkat tinggi tanpa sedikit pun mengeluarkan suara.

Namun sekitar lima bulan kemudian, setelah Panah Wangi bisa menggerakkan tubuh, bahkan berjalan perlahan-lahan, dan tenda itu dibongkar, aku tidak merasa masih harus menemaninya lagi. Ini bukan sekadar karena tempat perawatannya berpindah masuk ke Istana Daming, melainkan karena secara tekun seseorang yang lain telah berhasil menjadi teman baginya, yang tiada lain dan tiada bukan adalah Pangeran Song adanya.

Maka aku pun kembali kepada diriku sendiri, kepada persoalan-persoalan yang belum kuselesaikan dan tertunda, yang harus kusisir kembali untuk mendapatkan kejernihan, persoalan manakah yang memang merupakan persoalanku, dan persoalan manakah yang sebetulnya bukan merupakan persoalanku.

Pertama, ini tentu persoalanku, bahwa aku harus menyusul pembunuh Amrita ke gua-gua Mogao di Dunhuang. Tentu aku penasaran ingin mengetahui siapa pembunuh Amrita, yang menurut Harimau Perang diriku akan langsung mengenalinya itu.

Kedua, tentang permintaan Pangeran Song yang, meskipun bukan urusanku tetapi demi apa yang diterima Panah Wangi, membuatku terpaksa memikirkannya, meski ketentuannya tidak berubah, bahwa apa yang merupakan rahasia harus tetap tinggal sebagai rahasia. Ini tidak mudah karena di samping rahasia yang kuketahui, terdapatlah rahasia yang tidak kuketahui.

Ketiga, apa yang harus kulakukan dengan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang? Dengan segala hormat, aku merasakan kehadirannya sebagai suatu bahaya, tetapi aku seperti tidak punya alasan lain selain alasan dunia persilatan untuk menempurnya, yakni menguji kemampuan ilmu silatku sendiri!

Apakah ini tidak terlalu jumawa? Namun yang kupikir sekarang hanyalah bahaya ilmunya bagi setiap orang, ketika telah kusaksikan bagaimana ia bisa mencabut nyawa siapa pun setiap kali ia menghendakinya, bahkan pula nyawa ribuan orang dengan seketika, hanya demi menciptakan ketakutan manusia terhadap kekuasaannya.

Dengan kenyataan bahwa aku masih berada di Chang'an, tampaknya urusan ruwet antarmanusia dalam permainan kekuasaan itulah yang harus kuuraikan sebisanya, sejauh itu bisa membantu Pangeran Song, meski dengan sedih kuakui itu sama sekali tidak mudah. Tiada lain dan tiada bukan karena ini menyangkut urusan orang-orang kebiri! (bersambung)

1. Raymond van Over, Eastern Mysticism. Volume One: The Near East and India (1977), h. 199.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:37 PM
#356 72: Jangan Percaya Apa Pun 4.5 5 Unknown June 24, 2015 jangan percaya apa pun (hanya) karena sudah tertulis, jangan percaya apa pun (hanya) karena disebut suci, jangan percaya apa pun (hanya) karena orang lain mempercayainya, tetapi percayailah hanya yang dikau sendiri pertimbangkan sebagai benar. AKU masih tinggal di Chang'an sampai akhir tahun 800, demi kepentingan Panah Wangi yang kukira perlu ditemani dalam penyembuhan luka-luk...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak