Kepedihan karena berpisah untuk selama-lamanya itulah, dan bukan kenyataan bahwa dirinya tiada bernama, yang mengendap ke dasar lubuk hatinya. Masih selalu terbayang olehnya pemandangan itu, Sepasang Naga di atas kuda masing-masing dengan pedang di punggungnya, melangkah pelahan pada suatu senja melalui celah antara dua dinding batu yang menyembunyikan tempat tinggal mereka, sehingga mereka bertiga dapat hidup terbebaskan dari hiruk-pikuk dunia, mempelajari ilmu silat dari kitab yang satu ke kitab yang lain bagai tiada hentinya.
Tentang namanya itu, Pendekar Tanpa Nama menuliskan pada lempir-lempir lontar adegan berikut:
Airmataku mengalir deras membasahi pipi. Kenyataan betapa keduanya telah memungutku, dari nasib yang lebih jauh lagi dari pasti, telah membuat kepedihanku semakin tajam dan dalam. Namun sebelum mereka berangkat kutanyakan sesuatu.
"Siapakah sebenarnya namaku, Ibu?"
Ibuku tampak menahan airmata ketika telah duduk di atas punggung kuda.
"Kami tidak mengetahuinya Anakku, kami tidak tahu namamu ketika menemukanmu dan kami membiarkannya tetap seperti itu. Kami tidak ingin mengubah jalan hidupmu meski kami wajib menurunkan ilmu silat agar dikau bisa membela diri dari bahaya yang mengancam hidupmu itu, tetapi selebihnya kami biarkan dirimu tumbuh sebagai dirimu, kami hanya harus selalu memupuk pertumbuhanmu itu."
"Bapak, Ibu, jangan pergi!"
Namun mereka menarik tali kekang kudanya dan pergi.
Selama ini Sepasang Naga dari Celah Kledung hanya memanggilnya dengan sebutan, "Anakku," dan ia tidak merasakan terdapatnya kekurangan dalam kehidupannya sebagai seorang anak, karena limpahan kasih yang diterimanya tiada bisa dikatakan lain selain lebih dari sekadar cukup.
Namun limpahan kasih sepasang pendekar yang sungguh tahu-menahu kehidupan dunia yang keras, baik dalam dunia awam apalagi dalam dunia persilatan yang tiada lain selain seni pembenaran kekerasan, bukanlah jenis kasih sayang bagi sembarang bayi berkuncung ingusan berkalung tali kulit dalam ayunan kain gendongan. Permainan apa pun bagi anak kecil tak bernama ini, baik permainan bayang-bayang maupun permainan cahaya, segalanya terarahkan kepada penyempurnaan atas daya kecepatan dan kepekaan, ketepatan dan ketenangan, serta ketajaman dan kehalusan.
"Di tempat mematikan, dikau hanya cukup memberi sentuhan, maka telah dikau sempurnakan hidupnya tanpa penderitaan," ujar keduanya setiap saat bergantian, "bertarunglah tanpa melibatkan perasaan, hanya pikiran yang bersenyawa dalam gerakan, akan terbuka bagimu kemungkinan menjadi penentu yang mengakhiri perlawanan."
Bagi sepasang pendekar ini, meskipun begitu berarti ilmu silat bagi mereka, tiadalah seorang penyoren pedang akan menjadi pendekar, yang pertimbangannya atas mati hidup lawan-lawan bertarungnya akan bijaksana, tanpa perbendaharaan pengetahuan atas kehidupan dan kematian. Demi pengetahuan, Sepasang Naga dari Celah Kledung selalu mencari maupun mengundang para empu dari berbagai bidang ilmu, dan melibatkan mereka ke dalam perbincangan yang saling mencerdaskan, ketika keduanya paham belaka betapa anak asuh tak bernama yang selalu ingin mengetahui segala sesuatu tentang dunia itu, dari balik dinding akan diam-diam mendengarkan.
Mereka memang memikirkan anak asuhnya, justru karena anak yang tak pernah mereka ketahui namanya dan tak hendak pula mereka gantikan namanya itu bukanlah anak kandung mereka sendiri, tetapi perlintasan ruang telah menempatkan keduanya berperan dalam perjalanan hidup anak itu mengarungi waktu ke masa depan. Menyadari perpisahan yang setiap saat mungkin terjadi dalam dunia persilatan yang penuh pertarungan, mereka tuntaskan curahan ilmu persilatan dan segala pengetahuan dalam keberlimpahan kasih sayang.
Semua itu dirasakan, disadari, dan dinikmatinya, sehingga perpisahan yang begitu tak terduga menghempaskannya ke dalam kemurungan yang panjang.
Maka, remaja yang kelak akan disebut sebagai Pendekar Tanpa Nama itu pun memasuki babak baru dalam kehidupannya, karena dalam kemurungannya ia memutuskan untuk pergi mengembara. (bersambung)
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak