#241 Orang Baik dan Orang Buruk

February 28, 2015   

PADA hari keenam, sampailah kami di tempat jalan bercabang yang membuat kami berhenti dan berpikir. Jalur cepat yang ke kanan menuju Jalur Sutra, yang ke kiri menuju ke Sha. Jejak kuda maharaja bayangan, yang kini melakukan perjalanan sendirian itu memang memilih arah Sha, dan kami duga berasal dari dua hari lalu. Jejak itu diikuti dua kuda lain yang tampak mengikutinya sejak satu hari lalu.

Mereka berjarak satu hari dan jarak kami dengan dua pembunuh itu juga satu hari. Jika mereka berjalan cepat, kami juga harus berjalan cepat, bahkan tentu lebih cepat, jika bermaksud menghalangi tindak pembunuhan terhadap maharaja bayangan terbuang tersebut. Terbuang, tetapi tidak dapat terbuang dengan bebas, karena rahasia negara harus menjadi rahasia selama-lamanya.

Kami agak heran dengan terlambatnya para pembunuh itu, kenapa mereka tidak melakukannya selagi sempat tanpa harus berpisah pada percabangan tiga jalan?

"Mungkin saja mereka bukan orang yang sama," kataku, "ketiga orang itu, maharaja bayangan dan dua pengawalnya, berpisah jalan karena masing-masing memang ingin melepaskan diri dari peranannya. Memang benar bahwa melepaskan diri dari tugas seperti ini hukumannya adalah mati."

"Jadi dua orang ini sebetulnya adalah pembunuh bayaran yang dikirim untuk menghabisi mereka bertiga, dan terpaksa ikut terpisahkan di simpang tiga jalan," kata Panah Wangi.

"Artinya kita harus mengejar kedua pembunuh yang tidak bisa dilihat wajahnya itu sebelum ia dapat mengejar orang malang yang telah dipaksa menjadi maharaja sebagai sasaran pembunuhan itu."

Panah Wangi manggut-manggut.

"Dua pengawal maharaja bayangan itu tentu sudah mati sekarang."

Kemudian kami juga menjejaki betapa orang malang itu membuat api unggun sendirian. Ya, sendiri saja, dan dia adalah orang awam. Bagi sebagian besar orang awam, kesendirian adalah suatu kemalangan. Tidak dapat kuduga apa yang terjadi padanya sekarang. Manakah yang lebih kurang menimbulkan penderitaan, dikerumuni dan dilayani begitu banyak orang sebagai maharaja, dengan kesadaran betapa tiada seorang pun tahu dirinya adalah dirinya; atau berada dalam kesendirian di tengah alam raya hanya bersama dirinya sendiri?

Lantas terlihat pula jejak kuda kedua pemburunya, memeriksa tempat yang diburunya seperti kami sekarang memeriksanya.

"Aku berpikir mereka merasa harus mempersingkat waktu," kata Panah Wangi, "Kukira malam ini mereka tidak akan tidur untuk memperpendek jarak."

"Berarti kita harus lebih cepat lagi," kataku.

Seperti mengerti apa yang kami bicarakan, kuda kami sama-sama mendengus. Tentu, setelah semalaman tidak tidur, tidak mungkin kami memacunya semalam. Namun jika kami berhenti, orang yang tanpa pernah dikehendakinya terpaksa menjadi maharaja bayangan itu pasti akan sudah terbunuh.

Kong Fuzi berkata:

jika melihat orang baik,

berpikirlah untuk menirunya;

jika melihat orang buruk,

periksalah hatimu sendiri.1


"Kita harus mengganti kuda," ujar Panah Wangi, "itulah satu-satunya jalan."

"Kuda tercepat adalah kuda pengantar surat," kataku, "mungkinkah kita mendapatkannya?"

"Kita harus bisa mendapatkannya, kalau tidak tentu orang itu mati, dan perjalanan kita menjadi sia-sia."

Aku tidak bisa menceritakan kepada Panah Wangi, betapa suatu jarak yang jauh pernah kutempuh lewat udara dengan kecepatan tinggi, ketika harus mengikuti Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam dari Shangri-La ke Ceruk Shannan, menggunakan Ilmu Naga Berlari di Atas Langit. Namun jika kami dapatkan kuda pengantar surat, tentu aku tidak perlu melakukannya lagi.

Langit sudah menjadi merah, saat di depan kami tampak gardu persinggahan terakhir sebelum tiba di Sha, yang jauhnya masih 10.000 li. Mungkin karena itu persinggahan ini tidak berkembang menjadi kota kecil seperti gardu-gardu persinggahan lain, meskipun tetap terdapat kedai dan semacam rumah penginapan.

Sejumlah pengantar surat tampak bermain dadu. Tentu saja mereka berjudi. Panah Wangi pun seperti mendapat akal.

Mula-mula ia hanya ikut menonton, tetapi kemudian mengajukan penawaran.

"Ayo kita bertaruh. Aku pasang dua kuda tempur Uighur, lawan dua kuda pengantar surat."

Taruhan ini cukup adil, dan karena itu tidak mencurigakan, tetapi jawaban sang bandar yang mengejutkan.

"Aku tidak inginkan kedua kudamu," ujarnya sambil memain-mainkan dadu di tangannya.

"Jadi apa yang engkau inginkan untuk kedua kuda itu?"

Dua kuda artinya dimiliki dua orang, meski sebetulnya milik kerajaan. Kedua orang pengantar surat itu saling berpandangan penuh arti, yang bukannya tidak ditangkap Panah Wangi.

"Kami inginkan dirimu!" (bersambung)

1. Lionel Giles, The Sayings of Confucius [1998 (1907)], h. 97.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 12:27 PM
#241 Orang Baik dan Orang Buruk 4.5 5 Unknown February 28, 2015 jika melihat orang baik, berpikirlah untuk menirunya; jika melihat orang buruk, periksalah hatimu sendiri - The Sayings of Confucius [1998] PADA hari keenam, sampailah kami di tempat jalan bercabang yang membuat kami berhenti dan berpikir. Jalur cepat yang ke kanan menuju Jalur S...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak