#243 Nyawa di Ujung Dadu

March 2, 2015   

TIDAK dapat kubayangkan jika Panah Wangi kalah dalam permainan dadu itu, membayangkannya masuk ke dalam kedai bersama salah satu dari kedua petaruh yang menang, sementara yang lain tidak masuk, duduk, menunggu giliran!

Tidak mungkin! Tetapi bagaimana memastikannya?

Dengan hanya satu kali kesempatan, layakkah kebetulan dipastikan hasilnya? Kalau kalah Panah Wangi harus memenuhi perjanjian, sesuai dengan kehormatannya sebagai penyoren pedang, dengan diriku pula yang telah menjadi saksinya!

Betapapun aku tahu, jalan perjudian ini harus ditempuh Panah Wangi karena kuda cepat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan para pengantar surat itu, tidak akan dilepaskan dengan harga berapa pun. Namun dalam kesunyian padang alang-alang, untuk sekejap tampaknya ia tersihir oleh pesona ketubuhan Panah Wangi, sampai bisa mempertaruhkan kuda cepat yang mahapenting dalam kehidupan seorang pengantar surat itu --dan itulah satu-satunya peluang bagi Panah Wangi untuk mendapatkan kuda tersebut.

Dadu itu siap digelindingkan. Panah Wangi bertaruh pada angka 12. Angka penjumlahan 6 titik pada dua dadu. Suatu pertaruhan yang bersama angka 2, artinya penjumlahan 1 titik pada dua dadu, hanya memiliki satu kemungkinan.

Aku menahan napas. Tidak bisa tidak Panah Wangi harus menang. Demi dirinya sendiri maupun demi nyawa maharaja bayangan yang menyimpan banyak rahasia itu.

Apakah yang akan dan bisa dilakukan Panah Wangi? Apakah ia mengharapkan suatu nasib baik atau adakah sesuatu yang akan dilakukannya? Apakah yang bisa dilakukannya?

Kedua dadu itu menggelinding.

Dalam tatapanku dadu itu menggelinding begitu lamban. Ketika dadu pertama memperlihatkan 1 titik, dadu kedua memperlihatkan 5 titik; ketika dadu pertama memperlihatkan 2 titik, dadu kedua memperlihatkan 4 titik; ketika dadu pertama memperlihatkan 3 titik, dadu kedua memperlihatkan 3 titik; ketika dadu pertama memperlihatkan 4 titik, dadu kedua memperlihatkan 2 titik; ketika dadu pertama memperlihatkan 5 titik, dadu kedua memperlihatkan 1 titik; ketika dadu pertama memperlihatkan 6 titik, dadu kedua memperlihatkan 6 titik.

Dadu itu berhenti menggelinding. Penjumlahan 6 titik pada dua dadu: 12!

Sariputra berkata:

bukan kematian,bukan kehidupan kuhargai.

kunantikan waktuku, seorang pelayan menunggu upahnya.

bukan kematian, bukan kehidupan kuhargai.

kunantikan waktuku, dalam kesadaran dan kebijaksanaan pendalaman. 1


Kami berpacu menembus malam dengan kuda pengantar surat tercepat, yang baru saja dimenangkan Panah Wangi dalam permainan dadu.

Apakah nasibnya memang baik ataukah ada sesuatu yang dilakukannya sehingga kedua dadu berhenti ketika sisi yang menghadap ke atas masing-masing memperlihatkan 6 titik, yang berarti penjumlahannya 12?

Aku sebetulnya sangat penasaran, tetapi jika Panah Wangi sendiri tidak mengungkapnya, aku tahu betapa jika diriku bertanya tentu tidaklah akan dijawabnya. Lagipula, kami harus memusatkan perhatian kepada penyelamatan nyawa maharaja bayangan yang sedang diburu dua pembunuh bayaran.

Akan halnya para pengantar surat yang telah merelakan kuda cepatnya bertukar dengan kuda tempur yang mampu menendang dan menggigit, tetapi seberapa cepat pun berlari tidak akan secepat kuda cepat, tidak dapat kubayangkan nasib mereka selanjutnya. Begitu pentingnya tugas mereka sehingga setiap tahap keterlambatan akan mendapat hukuman.

Keterlambatan sehari dihukum pukulan tongkat tebal sebanyak delapan kali. Semakin tambah harinya, semakin tambah pukulan tongkatnya. Adapun yang terberat, yakni keterlambatan enam hari, adalah kerja paksa dua tahun lamanya. Jika berhubungan dengan kepentingan tentara, hukuman meliputi setahun kerja paksa sampai pembuangan sejauh 2131,2 li dari wilayah tinggalnya. Namun dalam hal ini, kedua pengantar surat itu bisa beralasan kudanya mati, karena tidak menukar kuda di tempat persinggahan, dan hukumannya adalah membayar denda kepada pemerintah 2.

Dengan pengetahuan semacam itu perasaan bersalahku jauh lebih berkurang, dan dapat kupacu kudaku dengan jauh lebih bersemangat. Kami sungguh-sungguh berpacu sepanjang malam, dan di antara kami tidak ada yang kalah serta tiada yang menang. Semula kami saling salip-menyalip, tetapi kemudian kuda kami bagaikan bersepakat untuk tidak perlu saling susul, sehingga tanpa mengurangi kecepatan kami melaju berdampingan menuju Sha.

Kami memang harus memacu kuda kami dengan kecepatan tertinggi, karena tidak berani mempertaruhkan nyawa seseorang yang berada dalam keadaan riskan. Kami tahu benar bagaimana pembunuh bayaran bekerja, betapa mereka akan mencabut nyawa seseorang pada kesempatan pertama! (bersambung)

  1. Sariputra atau Sariputta (568-484 Sebelum Masehi) adalah satu dari dua murid utama Buddha.Kutipan dari Edward Conze, Buddhist Scriptures [1973 (1959)], h. 160.
  2. Charles Benn, China's Golden Age: Everyday Life in the Tang Dynasty [2004 (2002)], h. 183.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 1:19 PM
#243 Nyawa di Ujung Dadu 4.5 5 Unknown March 2, 2015 bukan kematian,bukan kehidupan kuhargai. kunantikan waktuku, seorang pelayan menunggu upahnya. bukan kematian, bukan kehidupan kuhargai. kunantikan waktuku, dalam kesadaran dan kebijaksanaan pendalaman. - Buddhist Scriptures TIDAK dapat kubayangkan jika Panah Wangi kalah dalam permainan dadu itu, membayangkannya masuk ke dalam kedai bersama salah satu dari kedua ...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak