"Busana mereka memang seperti pengemis, mereka juga dekil dan bau seperti pengemis, tetapi mereka sama sekali bukanlah pengemis. Mereka adalah orang-orang persilatan, yang meminjam jalan kepengemisan hanya sebagai cara dan ciri kehidupan mereka, tetapi jalan hidup mereka tetaplah jalan para penyoren pedang dalam dunia persilatan," ujar seorang pengemis tua.
"Perhatian utama mereka adalah ilmu silat, mengembara di dunia yang luas untuk mencari lawan tangguh guna menguji kesempurnaan ilmu mereka. Hanya saja jika untuk mendukung hidupnya para pendekar itu mencari pekerjaan yang tersedia di sekitarnya, orang-orang Partai Pengemis menyambung hidupnya cukup dari hasil mengemis saja, sesuai dengan garis partai yang sudah menjadi ketentuan bagi setiap anggotanya.
"Mereka mengemis, kami juga mengemis, tetapi mereka tidaklah sama dengan kami, yang mengemis karena memang tidak mendapat tempat dalam pekerjaan. Juga tidak mendapat tempat di tengah khalayak, keberadaannya diingkari, dianggap kotoran, sehingga dari waktu ke waktu harus selalu disapu seperti menyapu debu dari kolong, tidak dianggap ada sebagai manusia.
"Sedangkan keberadaan Partai Pengemis yang tersebar luas di mana-mana selama ada pengemis, menjadikan mereka kuat sebagai kelompok, selalu diperhitungkan apakah bisa menjadi sekutu, bahkan sebetulnya juga menjual jasa jaringannya, yang rahasia maupun bukan rahasia, untuk mendapatkan keterangan, mengedarkan maupun menyebarkannya. Kepengemisan mereka bagai suatu ejekan bagi kami."
Tentu aku belum lupa dengan kisah Pengemis Tua Berjenggot Putih yang dikeluarkan dari keanggotaan Partai Pengemis karena menggugat keterlibatan Partai Pengemis dalam permainan kekuasaan, yang semakin menjauhkannya dari filsafat kegelandangan yang menjadi semangat para pendirinya dahulu kala.
Dhammapada berkata:
jangan punya pelaku kejahatan sebagai teman,
jangan punya manusia rendah sebagai teman:
milikilah orang saleh sebagai teman,
berkawanlah dengan orang-orang terbaik. 1
Kami akhirnya bisa bekerja dengan tenang. Kami dapat mengawasi rumah-rumah, gardu, dan lorong-lorong tanpa harus khawatir terhadap para pengemis itu sendiri, karena kami memang telah menjadi pengemis sebagai bagian dari dunia mereka. Itulah pengemis sebagai bagian dari lumut pada tembok, kerikil di bawah semak, ranting pada dahan, yang berarti tidak akan menarik perhatian karena memang meskipun benar manusia, tetapi tidak terhadirkan sebagai pribadi melainkan makhluk pengemis. Maka meskipun kami sebetulnya ada, kehadiran kami sungguh tidak terasa. Keadaan sempurna bagi kerja mata-mata.
Rumah tempat Anggrek Putih disekap sudah kami ketahui, tetapi mengganti pengantar makanannya tidak begitu mudah, karena penggantian mesti dilakukan segera begitu kesempatannya tiba. Itulah saat tidak ada remaja yang bisa ditugaskan karena sudah habis untuk melayani semua pesan penghantaran hari itu.
Begitulah dalam pengawasan Panah Wangi di lorong itu seorang anak muda tampak bergegas, bahkan setengah berlari, menempuh lekuk-liku jalanan Chang'an menuju gardu Pengawal Burung Emas. Jika digambarkan, peta Chang'an tampak sederhana karena sangat teratur, jelas, dan rapi, tetapi mengalami sendiri berdiri di tengah keramaian jalanannya yang hiruk-pikuk, keteraturan petak-petak dan saling-silang jalan yang serbamirip juga bisa membingungkan, terutama jika seseorang yang sedang dibuntuti tahu cara memanfaatkannya.
Namun anak muda yang bergegas itu tidak tahu sedang dibuntuti oleh seorang perempuan pengemis, karena apalah artinya seorang pengemis di celah-celah keramaian kota raya yang dari kejauhan pun hanya akan kelihatan capingnya.
Di seberang gardu aku sudah lama menunggu, dalam arti sudah berhari-hari aku menunggu, karena tidak terdapat pengulangan tertata dalam cara kerja para penyedia jasa hantaran di lorong itu. Tanpa pengulangan tertata, tidak ada yang dapat kami hitung, selain mengamati dan menunggu, tetapi sekarang inilah saatnya!
Perempuan pengemis yang tentu saja Panah Wangi itu memberi tanda kepadaku bahwa aku sudah harus siap mengikuti dan menggantikan anak muda yang dibuntutinya, mengantarkan makanan hangat mengepul ke tempat penyekapan Anggrek Putih kekasih Harimau Perang... (bersambung)
1. Dari "The Way of Virtue", terjemahan ke Bahasa Inggris oleh F. Max Muller, dalam Raymond Van Over (peny.), Eastern Mysticism. Volume One: The Near East and India (1977), h. 272.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak