#308 Menculik Gadis Bisu-Tuli

May 7, 2015   

GADIS yang disebut bernama Anggrek Putih itu menatapku, dan waktu seperti berhenti ketika aku pun menatapnya. Kukira kebisutuliannya itulah yang membuatnya terus-menerus melukis. Dalam kebisutulian gadis itu berbicara dengan pandangannya. Jadi ia melukiskan segala sesuatu yang dipikirkan dan dirasakannya ketika memandang dunia dalam kehidupannya. Namun kini Anggrek Putih yang selalu disebut sebagai gadis yang terus-menerus melukis itu menatapku. Apakah yang dipikirkannya?

Dalam waktu yang begitu singkat, apa yang bisa kutafsirkan? Sepasang matanya menatapku, mata yang bertanya-tanya! Apakah yang dipertanyakannya?

"Apakah nasibku akan berubah?"

"Apakah aku akan dibebaskan?"

"Siapakah kamu?"

Sekian pertanyaan terpancar dalam seketika, yang memberi perasaan bersalah, sehingga kujawab seketika juga. Dengan cepat kutarik lengan Anggrek Putih. Perempuan pengurus rumah tangga itu sempat berteriak kaget dan seekor tikus terloncat dari tangannya. Para petugas Dewan Peradilan Kerajaan hanya sempat menoleh karena langsung kukirim Totokan Lupa Peristiwa jarak jauh, yang membuat mereka jatuh terkulai ke lantai tanpa menyentuh papan ziangqi. Ketika terbangun nanti mereka akan langsung melanjutkan permainan itu.

Sekejap kemudian aku sudah berada di luar gedung, tentu setelah tidak lupa memberikan Totokan Lupa Peristiwa kepada perempuan pengurus rumah tangga itu. Di dalam petak terlihat sejumlah peziarah ke kuil Dao, ke rumah abu, maupun ke kuburan itu. Mereka melihat kami keluar dari gerbang rumah gedung dan sama sekali tidak mencurigai kami, karena kami bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Keluar dari gerbang petak di selatan aku langsung mengambil arah ke kanan atau ke barat, karena langsung mencapai jalan di tepi tembok kota bagian timur.

Jalan di tepi tembok benteng selalu sepi, karena demi keamanan pada bagian ini dijaga agar tidak ada keramaian dalam bentuk apa pun, meski khalayak tidak dilarang menggunakannya. Di bagian utara jalan ini dulu Yan Zi membuntuti Harimau Perang sampai ke kuil Kaum Penyembah Api, yang di Negeri Atap Langit disebut Kaum Muhu itu.

Memang ke sanalah kami bermaksud menyembunyikan Anggrek Putih, tempat Harimau Perang dulu memenggal kepala seorang padri Kaum Muhu hanya agar keberadaan dirinya sebagai bagian dari Kaum Ta ch'in yang berlambang salib itu tidak diketahui.

Dhammapada berkata:

meski khotbahnya seribu kata

tapi kata-katanya tanpa nalar,

satu kata bernalar lebih baik

yang jika didengar menenangkan 1

Aku memang telah membicarakan tentang penempatan Anggrek Putih dengan Panah Wangi. Kenyataannya kami bersembunyi di kuil Kaum Penyembah Api atau Muhu itu, sebelum terpaksa meninggalkannya untuk melebur ke dalam dunia kaum pengemis, membuatku teringat kembali cerita Yan Zi. Kepada para padri yang menampung kami, kusampaikan kembali cerita itu, dan mereka sungguh tersentak.

"Memang benar kami menemukan tubuh saudara kami dalam kuil kami di bagian utara kota, dalam keadaan mengenaskan," katanya, "Jadi benarkah pembunuhnya adalah Harimau Perang?"

"Demikianlah cerita kawan saya itu, Padri," kataku, "Dan menurut pengemis sakti yang bisa berada di mana-mana dalam saat bersamaan itu, Harimau Perang adalah pemeluk Ta ch'in. Ia bermaksud menyamarkan dirinya sebagai Kaum Muhu dengan cara memasuki kuil, tetapi seorang padri memergokinya dan mungkin mengetahui siapa Harimau Perang, setidaknya bukan sebagai Kaum Muhu. Mendengar cara berbahasanya, mungkin mereka berasal dari wilayah yang sama, sehingga tahu perbedaan masing-masing. Sebetulnya tidak jelas juga apa yang dipertengkarkan itu, tetapi kawan saya masih di sana ketika Harimau Perang membuang kepala itu lewat jendela."

Padri Kaum Muhu yang memuja api itu manggut-manggut.

"Tetapi bukan karena agamanyalah maka ia berbuat seperti itu," katanya.

"Tentu, Padri, ia hanyalah seorang pembunuh," Panah Wangi memastikan, seperti yang mengetahui dengan pasti siapa itu Harimau Perang.

Lantas kami ungkap rencana penculikan ini, dan ia bersedia membantu karena Harimau Perang pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Kuil Muhu.

"Kita akan gunakan kuil kami yang di utara, di ujung barat, dia boleh menyerahkan diri demi kebebasan kekasihnya yang bisu tuli itu," katanya.

Sampai aku melangkah bersama Anggrek Putih sekarang ini sebetulnya belum terlalu jelas hubungan Harimau Perang dengannya, tetapi kukira manusia seperti Harimau Perang tidak akan menampungnya jika bukan karena sesuatu yang dianggap penting.

Namun, dari arah belakangku, tiba-tiba terdengar teriakan, "Awas!!!" (bersambung)

1. Dari "The Way of Virtue", terjemahan ke Bahasa Inggris oleh F. Max Muller, dalam Raymond Van Over (peny.), Eastern Mysticism. Volume One: The Near East and India (1977), h. 272.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 2:40 PM
#308 Menculik Gadis Bisu-Tuli 4.5 5 Unknown May 7, 2015 meski khotbahnya seribu kata tapi kata-katanya tanpa nalar, satu kata bernalar lebih baik yang jika didengar menenangkan - Eastern Mysticism. Volume One: The Near East and India (1977) GADIS yang disebut bernama Anggrek Putih itu menatapku, dan waktu seperti berhenti ketika aku pun menatapnya. Kukira kebisutuliannya itulah ...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak