Betapapun cara penyerangan seperti itu dilakukan dengan anggapan bahwa kami berdua mampu bergerak begitu cepat, amat sangat cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat, sehingga kukira tidak keliru jika kulakukan tipu daya itu. Dengan gerak yang mendadak lamban, bahkan jatuh dan berhenti, dalam pergerakan luar biasa cepat perubahan itu harus segera ditanggapi. Maka, keluarlah mereka semua dari balik segala tabir dan menyerbu kami!
Pemikiran itulah yang secara ringkas kubisikkan kepada Panah Wangi, yang dari keadaan memelukku di atas rerumputan basah yang berhasil mengecoh itu telah kulontarkan ke atas, sehingga ia bisa menggeliat dan berputar sambil melepaskan ratusan panah mantranya. Demikianlah serbuan itu tidak dapat ditarik kembali. Dari balik hujan dan kegelapan para penyerang dengan berbagai macam senjata melayang dan melesat lebih cepat dari kilat, hanya untuk disambut badai anak panah yang meski meruapkan wewangian tetap sangat mematikan.
Suara tubuh-tubuh yang jatuh bergulingan terdengar di sela hujan. Setelah itu berhenti. Kami diam mendengarkan, dan yang terdengar tiada lain selain suara hujan dan angin yang mendesau menggelisahkan. Setidaknya 200 mayat bergelimpangan dengan anak panah menancap di dahi. Semua pengepung itu mati. Jelas korban tidak bersalah dari perwira yang telah menugaskan mereka, yang sudah tahu-menahu betapa mereka semua hanyalah akan mati di tangan kami.
Ketika kilat berkeredap sebelum petir menggelegar, tampaklah seragam pasukan itu, yang tiada lain dan tiada bukan adalah Pasukan Hutan Bersayap. Berarti semua orang yang tewas itu pastilah orang-orang kebiri. Tetapi orang-orang kebiri pada pihak yang mana? Mereka yang bersekongkol dengan Harimau Perang untuk mengangkut uang emas perbendaharaan negara ke wilayah Khaganat Uighur, tampaknya tidak mungkin tetap hidup. Jadi atas nama siapakah penjagaan ini dilakukan? Sudah jelas betapa ini bukanlah perondaan biasa, karena tampak jelas mengandung siasat yang dipersiapkan untuk menyambut kami.
Dalam gelap kami berpandangan. Berlarinya Harimau Perang memasuki Taman Terlarang hanya berarti dirinya merasa aman berada di tempat itu.
Mengzi berkata:
segala sesuatu tertentukan menjadi baik atau buruk
hanya tergantung penghargaan atau nilai yang diberikan terhadapnya 1
Kami telah berada di Istana Terlarang lagi. Apa yang membuat Harimau Perang sungguh mengira betapa akan bisa menghentikan kami?
"Mungkin bukan Harimau Perang lagi yang berperan di sini," ujar Panah Wangi.
"Jadi siapa yang berperan?"
"Itu tergantung apa yang kita dapat di sini," katanya lagi.
Sekarang hujan, angin, dan kegelapan kembali berpihak kepada kami. Kukira para penjaga yang ada di sini pun belum tahu betapa setidaknya 200 orang kawan mereka sudah bergelimpangan di balik kegelapan. Pengalaman kami dulu ketika menyusup kemari sangat membantu, karena lekuk-liku dan kedalaman Istana Terlarang bagaikan sudah begitu kami kenal.
Menggunakan gabungan ilmu cecak, ilmu bunglon, dan kadang-kadang ilmu halimunan, kami lewati setiap lapis penjagaan, bahkan sampai bisa masuk ke dalam zhengfang atau bangunan utama, meski di sini kami sungguh tidak boleh gegabah. Kami menyusup cukup sampai ke balik pintu lantas diam di situ. Sejumlah orang berbicara mengelilingi meja bundar yang besar. Dengan tidak adanya satu pun pengawal di ruangan itu, berarti pertemuan tersebut bersifat sangat rahasia.
Dari tempat kami bersembunyi, tidak seorang pun yang dapat kami lihat, tetapi bergerak sedikit saja sekarang ini hanya akan mengacaukan pengintaian. Sudah berapa lama mereka berbicara? Sayang sekali jika tidak semua rahasia dapat kami ketahui sekarang ini.
"Saudara saya Harimau Perang sudah berada bersama kami di sini," terdengar sebuah suara, "tetapi bagaimana kami bisa yakin bahwa kami sedang menghadapi Harimau Perang sejati yang tidak pernah memperlihatkan dirinya itu, bahkan konon tiada seorang pun pernah melihatnya?"
Jangankan mereka, kami yang bersembunyi pun sangat penasaran untuk mendengar jawabannya. Ternyata bukan hanya kami yang tidak kunjung dapat memastikan keutuhan sosok Harimau Perang itu! (bersambung)
1 Lin Yutang, The Wisdom of Confucius (1938), h. 287.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak