"Pertempuran, sebagaimana biasanya pertempuran, berlangsung cepat, keras, dan ganas. Berlangsung sekitar 15 tahun lalu, yakni tahun 785, ketika umurku masih 15 tahun. Tidak ada bedanya kapan dan di mana pertempuran itu berlangsung, sama saja, darah muncrat dan memancar ke mana-mana. Bacokan kelewang, tusukan tombak, lecutan cambuk berduri, jeratan rantai berbandul besi, ayunan kapak, gebukan gada, lesatan anak panah, lemparan bola peledak, sambaran pisau terbang, deru sumpit dan jarum-jarum beracun dengan segera menerbangkan banyak nyawa kedua belah pihak. Tak pernah dapat kubayangkan bagaimana kesiapan seseorang untuk bertempur, terutama jika itu termasuk kesiapan untuk mati...
"Namun pertempuran yang sedang kami jalani itu semestinya tidak memakan banyak korban, bahkan seharusnya tidak menelan korban sama sekali, karena hanya merupakan siasat agar dikejar pasukan induk Tang, supaya perhatian lawan terpecah. Betapapun, karena kesan pancingan tidak boleh terlihat, serbuan pasukan berkuda Karluk ini mesti masuk cukup dalam dan tajam, sehingga kesan hanya karena terdesak kembalilah maka kami melarikan diri yang harus tampak nanti. Saat mundur kami tidak melihat Panah Sakti maupun anak muda tinggi besar bersenjata pedang panjang melengkung yang telah mencoba memperkosaku itu, tetapi kami harus mundur terus dan tidak bisa kembali.
"Pada malam hari, Panah Besar memerintahkan sejumlah orang kembali ke lembah yang menjadi tempat pertempuran. Mereka kembali dengan tubuh Panah Sakti yang sudah tidak bernyawa lagi. Pemeriksaan atas lukanya menunjukkan dengan jelas bahwa ia ditusuk dari belakang dengan pedang panjang melengkung, yang guratan pada sisi tajamnya akan meninggalkan jejak tertentu. Jika hanya ada satu hal yang dimengerti orang Karluk, maka itu pastilah senjata. Tidak terdapat keraguan lagi bahwa Panah Sakti ditusuk dari belakang, menggunakan pedang panjang melengkung milik anak muda tinggi besar berambut lurus panjang, yang sudah hilang tidak tentu rimbanya itu.
"Dapat dikau bayangkan bagaimana perasaanku sebagai remaja menerimanya, sebagai gadis gunung yang setiap hari membayangkan perkawinan terindah, yang impiannya hancur-lebur seketika oleh kejadian seperti itu. Perasaan cinta terindah berubah menjadi luka terdalam yang tak tersembuhkan. Setelah usai menamatkan ilmu silat daku pun mengembara. Maafkanlah diriku bahwa ceritaku tidak lengkap waktu itu, tetapi sekarang dikau tentu mengerti betapa berat bagiku jika mesti membongkar kenangan itu lagi. Betapapun daku tidak ingin larut dalam kesedihan, dan mencari penebusan dengan mencari pembunuh Panah Sakti yang pengecut itu.
"Setelah mengembara dan mencarinya ke tempat yang salah, karena bentuk tubuhnya mengarahkan diriku ke utara, daku baru mengendus jejaknya di selatan setelah bergabung dengan jaringan mata-mata tentara Negeri Atap Langit. Di sinilah daku dengar tentang sepak terjang seorang Harimau Perang, yang menyoren dua pedang panjang melengkung yang saling bersilang di punggungnya, nun sebagai kepala mata-mata pasukan pemberontak di Daerah Perlindungan An Nam. Namun baru setelah ia berbalik mengkhianati para pemberontak itu, sehingga bahkan Panglima Amrita menjadi korban karenanya dan maharaja menariknya sebagai kepala mata-mata Negeri Atap Langit, dapat kujejaki dirinya sebagai orang yang kuburu.
"Limabelas tahun lamanya kucari dia di seantero negeri, dan kini sudah 30 tahun umurku. Selama itu teramat amat sulit bagiku untuk menjalin hubungan cinta dengan siapa pun jua, sampai bertemu dirimu sekarang, dan terasa kembali betapa daku sebetulnya ternyata memiliki hati. Maka, janganlah kita biarkan penguasa kejahatan itu merajalela, Pendekar Tanpa Nama, tapi jangan sampai dia mati tanpa kejelasan atas dosanya. Ketika mendengar cara kematian Panglima Amrita, sulit bagiku menyingkirkan gagasan bahwa sangat mungkin Harimau Perang inilah yang membunuhnya, dan sangat mungkin pula dari belakang."
Aku terkesiap. Mengapa kemungkinan ini kenapa tidak pernah kupikirkan?
Sun Tzu berkata:
biarkan kecepatanmu seperti angin
biarkan kepaduanmu seperti hutan
dalam menyerang dan menjarah seperti api
dan tidak bergerak seperti gunung 1
Aku mendongak ke atas. Tiada lagi awan menutupi rembulan. Panah Wangi menatapku. Aku menatapnya. Tiada apa pun lagi selain itu. (bersambung)
1. Sun Tzu, The Art of War, diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Lionel Giles (2008), h. 29.
Tq..!!!
ReplyDelete