Dengan mata seorang mata-mata akan segera terpindai dan tertemukan olehnya betapa dirinya sudah terkepung. Tidak kurang dari 50 padri pengawal Kaum Muhu telah mengunci kedudukannya di sudut barat laut dari dinding tembok petak yang terletak di sudut paling barat laut di Kotaraja Chang'an. Ia tidak akan bisa lolos dengan cara apa pun, dengan ilmu penyusupan maupun ilmu sihir, karena bagi Kaum Muhu apa yang disebut sihir bahkan menjadi permainan kanak-kanak belaka.
Demikianlah selama berbulan-bulan para anggota perkumpulan rahasia Kalakuta mencari, melacak, dan memburu Harimau Perang, dan selama itu pula para padri pengawal Kaum Muhu membuntuti orang-orang Kalakuta tersebut. Limapuluh padri pengawal dibagi menjadi empat regu untuk membuntuti empat anggota perkumpulan rahasia Kalakuta, dengan dua regu terdiri atas 12 orang dan dua regu lain terdiri atas 13 orang. Dengan cara ini, setiap orang Kalakuta dapat diikuti secara ketat dari 12 sampai 13 sudut pandang, sehingga tiada lagi celah yang memungkinkan para padri pengawal Muhu itu kehilangan jejak maupun pandangan.
Kemampuan Harimau Perang untuk menyamar, menyusup, dan menghilang, sesungguhnya tiada memiliki kelemahan, kecuali bahwa para bekas pengawal pribadinya, meski hanya sewaan, telanjur menggenggam segenap perbendaharaan siasat Harimau Perang. Tanpa kesempatan menyerap pengetahuan ketika menjadi pengawal pribadi seperti itu, tidak seorang pun akan bisa mengikuti ke mana Harimau Perang berkelebat keluar dan masuk lagi dari tabir kerahasiaan yang satu ke tabir kerahasiaan yang lain. Maka mencari, menemukan, dan menangkap Harimau Perang dengan cara mengikuti segenap gerak dan langkah orang-orang Kalakuta yang sedang memburunya adalah siasat terbaik.
Namun karena tujuan orang-orang Kalakuta adalah membunuh Harimau Perang, setelah menemukan Harimau Perang mereka harus segera dibunuh, dan kini sudah terbunuh.
Laozi berkata:
meninggalkan kehidupan, memasuki kematian:
sepertiga teman kehidupan, sepertiga teman kematian,
dan mereka yang menghargai kehidupan
dengan hasil memasuki alam kematian,
ini juga sepertiga, mengapa bisa?
karena jalan hidupnya terlalu kasar 1
Harimau Perang mendongak, kukira kini ia juga melihatku dan Panah Wangi di atas wuwungan ini. Apakah hanya kepada kami yang berada di sini Harimau Perang harus bertanggung jawab? Sebetulnya aku pun belum menuduhkan apa-apa kepadanya, apalagi tuduhan menusuk Amrita dari belakang seperti dikatakan Panah Wangi, tetapi kawan-kawan yang lain di sini memang lebih pasti. Harimau Perang telah membunuh kekasih Panah Wangi yang bernama Panah Sakti dari belakang, membunuh dua padri Kaum Muhu dengan tiada semena-mena yang tak mungkin tidak mendapat hukuman, dan betapapun Amrita telah membisikkan kepadaku sebelum perlaya, ''Harimau Perang segalanya..."
Gerimis turun membasahi genting-genting rumah dan rerumputan. Senja mulai meremang. Panah Wangi memandangku. Aku menghela napas panjang. Kami dapat merebut Harimau Perang dari orang-orang Kalakuta, tetapi aku tidak dapat merebutnya dari kawan-kawanku sendiri. Telah diputuskan betapapun Harimau Perang hari ini harus mati. Bukan sekadar karena dirinya akan bisa melebur dalam kegelapan ketika senja lenyap berganti malam. Jika hanya itu, semenjak Ilmu Silat Aliran Shannan kami bagi rata maka kami semua akan mampu memburunya ke balik malam. Kami telah bersepakat, Harimau Perang tidak perlu lagi diberi kesempatan memamerkan kelicinan dan siasatnya yang telah dan selalu memakan korban.
Senja itu petak yang terletak di sudut barat laut tersebut menjadi ruang pengadilan, dengan terdakwa, tertuduh, dan tersangka yang terpaku di sudut barat laut dinding petak itu juga.
Dari atas genting Panah Wangi mengajukan pertanyaan, "Jawablah Harimau Perang, seperti terbukti, mengapa dikau membunuh Panah Sakti kekasihku, calon menantu Panah Besar ayahku, kepala gabungan suku-suku Karluk, secara pengecut dari belakang?" (bersambung)
1. Mengacu terjemahan Daodejing ayat ke-50 dalam bahasa Inggris oleh R. B. Blakney [1960 (1955)], h. 103; D. C. Lau [1972 (1963)], h. 111, dan dalam bahasa Indonesia oleh Tjan K. (2007), h. 50.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak