#363 Selamat Tinggal Chang'an

July 1, 2015   

PANAH Wangi berwajah muram, sangat muram, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih muram. Ia menatapku dengan mata sendu. Tidak ada orang lain di ruangan atas ini. Hanya Panah Wangi dan aku. Dari sini terlihat hamparan keramaian Kotaraja Chang'an, yang meskipun gemerlapan dalam senja, tidaklah terlalu memberi kegembiraan kepada hati kami yang gundah, karena kami tidak melihat apa pun selain saling menduga dalam tatapan.

“Mengapa dikau harus pergi, Pendekar Tanpa Nama? Mengapa tidak tinggal saja di sini?”

Di dalam gedung besar milik Pangeran Song ini, Panah Wangi tidak lagi berbusana ringkas, sebagaimana biasanya busana seorang pendekar pengelana, melainkan seperti putri istana yang selalu dilayani, dan memang tidak akan pergi ke mana pun. Namun Panah Wangi masih berada di sana karena luka-lukanya yang parah akibat pertarungan dengan Harimau Perang, meski sudah mendekati kepulihan seperti semula.

Masih tinggal di gedung Pangeran Song, tetapi tidak lagi di Istana Daming, artinya Panah Wangi mempunyai hubungan dengan putra mahkota itu. Aku tidak merasa perlu mempertanyakan atau mengucapkan apa pun. Panah Wangi memang pernah mengungkapkan perasaannya kepadaku, seperti juga diriku bukan tidak pernah mengungkapkannya, tetapi kukira kami tidak pernah saling menegaskan betapa hubungan kami bisa lebih dari itu.

Aku hanya merasa sudah waktunya untuk pergi. Memang tidak pernah terbayangkan diriku akan meninggalkan Chang'an tanpa Panah Wangi, tetapi kukira segala sesuatu di dunia ini cepat atau lambat memang akan berubah. Begitu dengan cuaca, begitu pula dengan cinta. Tidak ada yang perlu disesali.

“Sudah waktunya aku pergi,” akhirnya terucap juga kalimat itu.

Mata Panah Wangi langsung basah. Ia membalikkan tubuhnya, menjauh, tapi langsung kembali lagi dan memelukku.

“Jangan pergi! Jangan pergi!”

Air matanya tumpah ruah. Panah Wangi mengerti diriku tidak bisa ditahan lagi. Tubuhnya berguncang. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain memeluknya, dengan hati yang berdarah.

Pepatah Negeri Atap Langit mengatakan:

cinta itu jarang

seperti teratai kembar

pada satu tangkai 1

Begitulah akhirnya harus kutinggalkan juga Chang'an dengan segala kekayaan peradaban dan hiruk-pikuk manusianya. Kota tempat begitu banyak orang datang dari wilayah-wilayah yang jauh untuk meraih impian-impiannya. Apakah itu impian untuk menjadi kaya dan berkuasa, ataukah sekadar menyelamatkan hidupnya sendiri saja. Chang'an adalah kota yang penuh dengan berbagai upacara dan perayaan yang bermandikan cahaya, setiap kali berlangsung pesta kembang api yang menyalakan angkasa, dan pada masa damai pertunjukan sandiwara rakyat, tari-tarian, dan arak-arakan dengan bunyi-bunyian yang seru mengalir bagaikan tiada habisnya.

Dengan sedih harus kutinggalkan pemandangan mengesankan dari kota yang menampung pendatang, pedagang, utusan, maupun pengembara dari berbagai penjuru dunia, yang telah membuat jalanannya semarak oleh warna-warni dan aneka rupa busana yang dikenakan manusia berbagai bangsa. Warna kulit, rambut, corak wajah, bahkan warna bola mata beragam, dengan bahasa yang lebih-lebih lagi beragam-ragam, beredar dan terdengar di mana-mana, baik di pasar, kedai, penginapan dan rumah-rumah persinggahan yang terdapat di berbagai sudut kota dua juta manusia itu, membuat Chang'an menjadi kotaraya dalam segala makna.

Masih kutuntun kuda cokelat Uighur pemberian Pangeran Song sepanjang jalan ke arah Gerbang Jinguang, pintu gerbang kota yang harus kulalui ketika meninggalkan Chang'an menuju wilayah barat. Hatiku terkesiap melewati Pasar Barat dengan kedai dan harum masakannya yang menggugah selera. Aku tahu betapa akan kurindukan segala tukang cerita dengan dongeng-dongengnya yang memukau, perbincangan hangat tentang agama dan filsafat dengan para pembicara bersemangat maupun bual sehari-hari dalam canda dan tawa berderai-derai karena pengaruh arak yang wangi. Memandang ke sekeliling untuk terakhir kalinya, bagaikan ingin kuserap segenap dunia dan kehidupan Kotaraja Chang'an ke dalam diriku yang selalu sendiri.

Layung senja semburat di langit bagaikan menyambutku, setelah aku melewati Gerbang Jinguang pada tembok perbentengan di sisi barat, berpapasan dengan kafilah unta dari Jalur Sutera yang baru saja mendapat izin masuk. Aku menaiki kudaku dan menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Pintu gerbang itu sudah akan ditutup, tetapi aku memang tidak kembali lagi.

Segera kupacu kudaku ke arah matahari terbenam, mengawali perjalanan malam menuju Dunhuang demi suatu tujuan yang belum juga kutuntaskan. Aku masih harus mencari dan menemukan pembunuh Amrita, dan membuatnya bertanggung jawab atas kejahatannya, yakni membunuh dari belakang.

Angin bertiup semakin kencang ketika aku melaju ke arah padang terbentang. Aku belum tahu saat itu bahwa Panah Wangi ternyata berada di gardu penjagaan di atas Gerbang Jinguang. Menatap kepergianku dengan mata berkaca-kaca, melihatku melaju, semakin lama semakin jauh, sampai menjadi titik dan akhirnya menghilang... (bersambung)

1. Theodora Lau, et.al., Best-Loved Chinese Proverbs [2009 (1995)], h. 93.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:22 PM
#363 Selamat Tinggal Chang'an 4.5 5 Unknown July 1, 2015 Pepatah Negeri Atap Langit mengatakan: Cinta itu jarang seperti teratai kembar pada satu tangkai - Best-Loved Chinese Proverbs [2009 (1995)] PANAH Wangi berwajah muram, sangat muram, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih muram. Ia menatapku dengan mata sendu. Tidak ada orang lain di...


1 comment:

Silahkan berkomentar dengan bijak