Salwaning Yawabhumi nora wani langghana sahanani ceshaning pejah Singgih tan hana nusa cakti wenang anglawan ri sira Wishnnu nginnddarat.
(Di seluruh Pulau Jawa tidak ada seorang pun di antara mereka yang tertinggal tidak terbunuh berani melawan (Jayabhaya). Sungguh, tidak ada pulau yang sakti dapat melawan (Jayabhaya), karena ia adalah penjelmaan Wishnnu di dunia ini).
Mpu Panuluh, Kakawin Bharata-Yuddha, 1079 Saka1
***
LANGIT, dan hanya langit menjadi saksi ketika banjir besar bergerak perlahan dari saat ke saat, ketika matahari terbit maupun matahari tenggelam, ketika malam pekat berhujan maupun langit terang dengan bulan purnama penuh bintang. Banjir besar bergerak dari kutub-kutub es terbeku yang mencair, kadang bergerak dengan sangat amat cepat, kadang bergerak dengan sangat amat lambat, tetapi dengan pasti menyelimuti hampir seluruh permukaan bumi dan hanya bumi yang belum hadir dengan cerita tentang kesucian dan kejahatan, kekuasaan dan pemberontakan, kesetiaan dan pengkhianatan, sehingga langit senja hanya dapat menjadi merah tanpa cinta, tanpa kerinduan dan tanpa kehilangan, karena tiada satu pun makhluk yang kelak disebut manusia ada untuk menyaksikannya.
Itulah suatu masa yang sudah terlalu lama silam, begitu lama, sangat amat lama, bagaikan tiada lagi yang lebih lama, meski ternyata terjangka berlangsung 18.000.000 tahun yang lalu.
Hanya langit yang menyaksikan betapa wajah bumi menjadi berubah, ketika selanjutnya lempeng-lempeng di bawah permukaan bumi bergeser, satu-satunya benua retak, pulau-pulau besar terbentuk, sementara di segala tempat dan segala keadaan bumi diselimuti air, dan tiada lain selain air, saat permukaan laut di segala pantai mengalami pasang naik, hanya naik, dan terus-menerus naik menelan pantai, menelan sungai, menelan rawa, menelan hutan, menelan padang, dan hanya menyisakan dataran tertinggi.
Lima kali banjir besar dalam rentang berjuta-juta tahun telah mengubah wajah bumi yang hanya tampak sebesar merica dalam peredaran semesta di ruang takterbatas nan hampa yang menghadirkan keheningan tiada tara.
Bumi yang terbenam tak tinggal diam ketika segala kepundan di dasar laut menggelegak, mencuat dan mendongak, dan dengan segala daya membara, bergerak sepanjang waktu dengan kecepatan terlambat menembus permukaan laut memunculkan rangkaian pulau-pulau bergunung api yang segala kepundannya dari masa ke masa menyemburkan abu berapi ke udara, memuntahkan gelombang asap terpanas yang menjadi awan hitam yang menggelapkan langit, mengakibatkan hujan abu yang berhembus bersama angin ke seluruh penjuru bumi, sementara lahar yang mengalir dari saat ke saat setiap kali terjadi letusan mengubah tanah yang kelak menjadi rumah bagi segala macam makhluk yang ketika saling memperebutkannya akan menumpahkan darah.
Makhluk-makhluk muncul dan punah terhisap rawa-rawa tanah liat, gajah-gajah purba yang gagah melengking dengan belalai menegang kencang-kencang bagai salam perpisahan bagi dunia apabila tubuh dan kaki raksasa mereka takbergerak, terjebak, dan ketika dalam derasnya hujan pada malam terpekat kilat berkeredap dan guntur menggelegar, tampak burung-burung purba yang matanya tetap tajam dalam kegelapan menyambar dengan curang dari angkasa dengan tiada semena-mena, tanpa perasaan iba untuk membuat sekadar luka tanpa hasrat menyantapnya, karena juga dalam dunia tanpa makhluk yang kelak disebut manusia bunuh-membunuh adalah nyanyian tanpa makna selain naluri mempertahankan kehidupan belaka.
Malam demi malam yang terhitam dalam rimba tergelap, terpekat, dan terkelam saling bergantian memusnahkan dan melahirkan zaman. Banjir besar terakhir yang berlangsung 10.000 tahun lalu telah disaksikan makhluk berkaki dua yang berjalan dengan punggung tegak dan bermukim di dalam gua. Mereka telah mempelajari segala sesuatu di bumi dengan sangat lambat, amat sangat lambat, bagaikan tiada lagi yang lebih lambat sejak 2.000.000 tahun lalu, dan dengan segala kelambatan dan kelambanannya ini pun mereka segera punah, untuk segera digantikan makhluk berjalan tegak lain yang kali ini mampu merenung, menimbang, dan mengarang.
Mereka memang bukan sekadar makhluk yang berjalan tegak, tetapi juga berdaya dalam tipu muslihat untuk bertahan di antara begitu banyak makhluk yang saling berbunuhan, yang juga suka memandang langit dan bintang-bintang dan sibuk menduga apakah benar di suatu tempat yang disebut rembulan leluhur mereka sedang duduk memandangi mereka dari kejauhan.
Di pulau dengan gunung-gunung berapi yang dari tahun ke tahun bergantian meletus, memuntahkan lahar, dan melepaskan awan terpanas ke angkasa itu tidak pernah terjadi lagi banjir besar yang mengubah wajah bumi. Mereka tidak pernah pergi dari pulau itu, sebaliknya orang-orang datang dari berbagai tempat yang jauh, untuk tinggal dan kembali pergi, maupun untuk tinggal, menetap, dan tidak pergi lagi.
Pada abad ke-11, pulau itu telah disebut Yavabhumi, yang artinya tiada lain selain Pulau Jawa. (bersambung)
1 Sutjipto Wirjosuparto, Kakawin Bharata-Yuddha (1968), h. 10, 180-2, 358-60. Dimulai oleh Mpu Sedah sampai adegan Salya menjadi panglima, diakhiri oleh Mpu Panuluh--kutipan ini adalah bagian akhir.
Terima Kasih kepada yang punya blog ini. Petualangan berlanjut...HEBAT!
ReplyDeletematur suwun sanget mas... pengembaraan berlanjut.....
ReplyDelete