#28 Kelicikan dan Kerahasiaan

July 30, 2014   

JADI bersama delapan orang yang mati oleh piauw mereka sendiri. Semuanya delapanbelas orang Kawanan Danau Qinghai tewas di Kota Shangluo ini. Apakah hanya karena terdapatnya bisai itu maka orang-orang rimba hijau dari tempat yang jauh itu sampai di sini? Bisai yang paling diperhitungkan tentunya adalah bisai di Kotaraja Chang'an, selain karena yang bertarung tak jarang tokoh-tokoh ternama, hadiahnya pun paling besar pula. Adapun bisai di Shangluo biasanya dianggap sebagai pemanasan sebelum mengikuti bisai di Chang'an, sekaligus menjadi cara menjajaki para calon lawan. Jika pun tidak ikut bertanding, mereka datang untuk melakukan pengamatan.

Namun bisai, dengan segala kelicikan yang menyertainya adalah pertarungan seorang lawan seorang, sedangkan Kawanan Danau Qinghai adalah suatu gerombolan yang biasanya berkeliaran mengganggu ketenteraman nun di timur laut sana, yang membutuhkan perjalanan berminggu-minggu untuk mencapai Shangluo.

Mayat-mayat bergeletakan. Orang-orang masih terpana. Yan Zi dan Elang Merah bercerita dengan cepat agar kami segera bisa mengambil keputusan. Shangluo adalah kota yang terdekat dengan Chang'an. Di sini mayat yang bergelimpangan menjadi urusan hukum, masalahnya tidak bisa sekadar dibalas dengan dendam dan tantangan seperti di rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan.

Mendadak terdengar pula keributan dari tempat Yan Zi dan Elang Merah mendapat serangan. Seseorang datang berlari dan bicara dengan terengah-engah.

"Di sana! Di sana!"

"Ada apa?"

"Ada lagi!"

"Apa?"

"Dua orang tewas mengenaskan!"

Kami bertiga melesat secepat kilat. Sebelum kerumunan bertambah banyak, sudah kami ketahui siapa yang bernasib malang. Kedua muda-mudi yang diceritakan Yan Zi dan Elang Merah sebagai murid Harimau Perang itu tewas mengenaskan. Wajah keduanya biru menghijau karena racun senjata rahasia, dan luka-luka di tubuh mereka dapat kubaca sebagai tamparan kipas besi. Keduanya jelas telah diserang secara licik oleh Sastrawan Kejam dari Tiangshan sebagai pembalasan dendam karena merasa telah dipermalukan.

Tanpa bisa memeriksa lebih jauh, kami harus pula segera pergi, karena makin banyak orang berkerumun. Apabila kemudian para petugas yang berseragam menunggang kuda datang pula, maka jelas kami merasa lebih baik tidak menampakkan diri. Di antara kerumunan dan orang berlalu lalang kami kembali ke penginapan, tanpa menarik perhatian mengambil kuda kami diam-diam, dan tanpa menungganginya berjalan menjauhi keramaian, menuju ke luar kota.

Jika sumber perkara mayat-mayat bergelimpangan ini ditelusuri oleh para petugas tadi, sudah pasti dengan segera akan sampai ke pintu penginapan kami, dan kami jelas sedang tidak ada waktu dan selera untuk diadili, karena kami sedang mengemban tugas rahasia kami sendiri.

Demikianlah kami berjalan di bagian kota yang gelap dan sepi, menuntun kuda kami perlahan-lahan, menjauhi bagian yang penuh manusia dan bercahaya terang. Menjelang gerbang luar kota kami melewati penjagaan.

"Mau ke mana kalian malam begini?"

Elang Merah yang menjawab.

"Pulang ke Chang'an."

"Kalian orang Chang'an? Kenapa tidak menunggu hari terang?"

"Bisai sudah usai, tak ada perlunya lagi kami di sini."

Para penjaga gerbang adalah anggota pasukan yang tampaknya sudah biasa berperang. Ia menatap busana ringkas yang dikenakan Yan Zi dan Elang Merah dan tampaknya berhasil diyakinkan. Waktu melirikku aku menundukkan kepala, pakaian dan capingku yang buruk kuharap cukup meyakinkan, untuk dikira sebagai budak kedua perempuan pendekar yang masing-masing berbusana serbaputih dan serbamerah itu.

"Oho! Tentu kalian mengalami kekalahan, dan hanya bisa bersedih dalam kemeriahan! Haha! Mungkin kelak harus dibedakan antara petarung lelaki dan perempuan! Hahahaha!"

Kami menunggangi kuda kami dan berlalu memasuki kegelapan malam, menempuh jalan yang langsung menuju Kotaraja Chang'an.

Di jalan raya itu Yan Zi dan Elang Merah memacu kudanya susul-menyusul dalam kegelapan malam. Kubiarkan kedua perempuan pendekar itu salip-menyalip dengan riang, setiap kali yang satu mendahului segera tersusul oleh yang lain. Aku pun memacu kudaku tetapi menjaga diriku tetap berada di belakang. Memandang kedua teman seperjalananku itu, tidak kuingkari dadaku pun meruap dengan kegembiraan. Membayangkan petualangan baru yang menanti di depan, sama sekali terlupakan olehku kenyataan dunia persilatan, yang dari saat ke saat penuh bahaya mengancam! (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 8:07 PM
#28 Kelicikan dan Kerahasiaan 4.5 5 Unknown July 30, 2014 Kelicikan dan Kerahasiaan (Seri 28) dari Cerbung (Cerita Bersambung) silat Naga Jawa di Negeri Atap Langit Karya Seno Gumira Ajidarma JADI bersama delapan orang yang mati oleh piauw mereka sendiri. Semuanya delapanbelas orang Kawanan Danau Qinghai tewas di Kota Shangluo ini...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak