#29 5: Kota Kedamaian Abadi

July 31, 2014   

CAHAYA keemasan musim panas bulan Jyesta di tahun 797 menerpa tembok Kotaraja Chang'an, ketika kami datang dari arah timur mendekati kota itu. Matahari pagi terasa hangat di punggung kami, dan bayang-bayang kami bertiga di atas kuda memanjang sepanjang padang rumput, nyaris menyentuh tembok luar yang membentang dari utara ke selatan sepanjang 8.000 langkah lebar orang dewasa. Jarak kami dengan tembok luar itu sebetulnya masih jauh, tetapi bentangannya yang begitu luas seolah-olah membuat kotaraja itu sedikit demi sedikit menghisap dan menelan kami.

Elang Merah yang dalam tugasnya sebagai mata-mata Kerajaan Tibet pernah menginjak Chang'an bersikap bagaikan penunjuk jalan.

"Itu yang di sebelah kanan adalah Gerbang Chunming, dan yang sebelah kiri adalah Gerbang Yanxing," katanya.

Yan Zi, meskipun tampak sangat menahan diri, tidak bisa menutup binar matanya yang tampak jelas terpesona. Ia tersenyum tanpa menoleh ketika aku memandangnya. Betapapun dapat kurasakan juga ketegangannya, mengingat tujuannya datang ke kota terbesar di dunia ini adalah menerobos istana dan mengambil Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri. Mungkinkah kiranya seseorang dari pelosok terpencil, di tempat yang sangat rahasia dan tidak pernah pergi keluar dari wilayahnya, akan berhasil menjalankan tugas yang sangat menuntut pengenalan sebaik-baiknya dari sebuah kota besar?

Kami diperiksa ketika melalui Gerbang Chunming. Hanya Elang Merah yang membawa surat perjalanan resmi, karena dalam kedudukannya sebagai mata-mata maka Kerajaan Tibet melengkapinya dengan segala kebutuhan penyamaran, termasuk surat tersebut. Demikianlah surat yang tertulis dalam dua bahasa itu menjelaskan bahwa pemiliknya adalah warga Kerajaan Tibet yang sebagai pegawai Kedutaan Besar Tibet bertugas melakukan perjalanan di seantero Negeri Atap Langit; dalam surat itu terdapat lampiran bahwa pemiliknya diiringi dua orang budak. Lampiran ini adalah surat palsu yang dipersiapkan oleh pihak Yang Mulia Paduka Bayang-bayang, dan dalam hal budak untungnya tidak diperlukan sebuah nama tertulis secara resmi.

Kami disuruh melanjutkan perjalanan begitu saja, meski ketika melewatinya, kami tahu belaka betapa mata para penjaga yang mengawasi dari atas tembok setinggi delapan langkah lebar orang dewasa, dengan ketebalan dua langkah di atas dan melebar sampai tiga setengah langkah di bawah itu, menatap kami dengan tajam. Kami bersikap sebagai pengembara biasa, segelintir dari begitu banyak pengembara yang datang dan pergi dari Chang'an, sebagai pusat perdagangan 1, kebudayaan, dan permainan kekuasaan.

Penduduk Chang'an sendiri, selain dari orang-orang Han, juga terdiri dari orang-orang berbagai kebangsaan seperti Huihe atau Uighur, Tubo atau Tibet, dan Nanzhao atau Yi, selain Negeri Matahari Terbit, Xinluo atau Koguryo, Persia dan Arab, yang sering disatukan saja sebagai orang-orang Dashi. Sementara para pengembara yang hilir mudik antara Chang'an dengan berbagai wilayah mulai dari Daerah Perlindungan An Nam, Jambhudvipa, dan Kemaharajaan Romawi Timur, selain mengakibatkan tersebarnya kebudayaan Negeri Atap Langit, juga sebaliknya memberi peluang berbagai kebudayaan, termasuk kebudayaan suku-suku yang paling terpencil sekalipun di sepanjang jalur itu, untuk memberikan sumbangan yang memperkaya kebudayaan Negeri Atap Langit.

Pengaruhnya segera terlihat di jalanan Chang'an, kota berpenduduk dua juta manusia dengan serbaneka busana yang mencolok dan mengagumkan, yang dalam keserbanekaan itulah kiranya kehadiran kami semakin tersamarkan. Elang Merah dengan busana serbamerah, Yan Zi dengan busana serbaputih, dan diriku sendiri masih dengan busana An Nam yang sudah lusuh, yang jika berada di pedalaman barangkali akan cukup menarik perhatian, hanyalah salah satu warna dalam lautan warna-warni di jalanan Chang'an yang menggairahkan.

Setelah menyeberangi jembatan batu di atas parit berkedalaman sekitar enam kali tinggi tubuh orang dewasa dan lebarnya lima langkah rata-rata orang dewasa, kami segera berhadapan dengan keramaian Pasar Timur, salah satu dari dua pasar terbesar di Chang'an. Bagi seseorang yang berasal dari Javadvipa seperti diriku, meski aku tidak perlu merasa rendah diri sebagai anak negeri yang mampu membangun Kamulan Bhumisambhara, kemeriahan Chang'an di sekitar pasar besar itu sangatlah mencengangkan. (bersambung)


1 Dalam hal perdagangan, sebetulnya Kota Yangzhou di sepanjang Kanal Besar yang mendekati Sungai Yangzi merupakan pusat perdagangan dan keuangan yang lebih besar, tetapi saat itu Pendekar Tanpa Nama tentu belum mengetahuinya. Lagipula itu tidak mempengaruhi daya tarik Chang'an bagi para pengembara dari seluruh dunia. Periksa "Tang Dynasty" dalam Wikipedia, diunduh 14 Agustus 2011.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 1:09 PM
#29 5: Kota Kedamaian Abadi 4.5 5 Unknown July 31, 2014 CAHAYA keemasan musim panas bulan Jyesta di tahun 797 menerpa tembok Kotaraja Chang'an, ketika kami datang dari arah timur mendekati kota itu. CAHAYA keemasan musim panas bulan Jyesta di tahun 797 menerpa tembok Kotaraja Chang'an, ketika kami datang dari arah timur mendekati kot...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak