#30 Kota 108 Petak Bertembok

August 1, 2014   

KAMI berkuda melewati para pemain zaji cilik 1 yang sepagi itu sudah jungkir balik memamerkan keterampilannya demi sepotong roti gandum. Dari balik tembok rumah-rumah gedung yang mewah, harum susu kedelai panas dan uap bakpau sampai ke hidungku, membuatku membayangkan makanan terhangat yang bisa disantap. Kami telah berkuda semalaman, setelah sebelumnya menginap dua malam di perjalanan. Jadi inilah hari keempat semenjak kami meninggalkan Shangluo. Banyak orang berlalu lalang dengan langkah tergesa, seperti selalu ada sesuatu yang harus dikerjakan segera . Terbiasa hidup di alam terbuka, dan terbiasa dengan dunia persilatan, penuh sesaknya kota ini membuatku berpikir betapa mudahnya seseorang menjadi korban serangan rahasia dari belakang. Namun di kota besar seperti ini, tidaklah dengan segera dapat kuketahui, seberapa jauh ilmu silat mendapat perhatian, karena begitu banyak yang tampaknya bukan sekadar berlomba meminta perhatian, tetapi memang layak diperhatikan.

Elang Merah membawa kami menjauhi pasar. Telah kusebutkan betapa panjang tembok sisi timur kota ini yang membentang dari utara ke selatan adalah 8.000 langkah lebar orang dewasa, maka meskipun belum menyaksikannya telah kudengar pula bahwa panjangnya di sisi utara maupun selatan adalah 10.000 langkah lebar kaki orang dewasa. Dengan kata lain, panjangnya 10.000 langkah dan lebarnya 8.000 langkah, sehingga dapat kuperkirakan luasnya dan kuketahui bagaimana Chang'an disebut sebagai kota terbesar di dunia. Elang Merah mengutamakan agar kami mengenali kota ini dulu sebelum berhenti dan mencari penginapan, maka kami pun mengelilingi Chang'an dan Elang Merah menganjurkan kami makan saja bekal kami sambil menunggangi kuda perlahan-lahan, dan aku mengikuti saja karena menyadari bahwa kedatangan kami memang bukan untuk bersenang-senang.

Yan Zi mengunyah roti gandum kering sembari melihat-lihat, yang segera kuikuti karena aku memang merasa kelaparan. Setelah beberapa saat dapat kulihat bagaimana dari Gerbang Mingde yang terdapat tepat di tengah tembok selatan, suatu jalan raya yang lebar membelah kota dengan tepat lurus ke utara menuju Pusat Tatakota, yang di belakangnya terdapat Gerbang Chengtian, pintu masuk ke Kota Kerajaan. Jalan itu berpotongan dengan empatbelas jalan raya yang menyilang dengan serba terukur dan tepat lurus dari timur ke barat, sementara sebelas jalan raya lain dengan cara yang sama berpotongan dari utara ke selatan. Jalan raya yang saling menyilang ini membentuk 108 petak empat persegi panjang yang masing-masingnya bertembok dengan pintu gerbang di setiap sisi, dan di dalam setiap wilayah ini terdapatlah petak-petak yang lebih kecil, yang membuatnya disebut kota-kota kecil di dalam kota yang lebih besar.

Petak-petak bertembok dan berpintu gerbang pada empat sisi ini merupakan keistimewaan Chang'an. Tentang Chang'an sendiri, penyair besar Du Fu pernah menyebutnya selintas dalam puisinya Kesenduan dalam Hujan Musim Gugur 2:

Adakah di Chang'an ini

Orang terpelajar lain sepertiku

Yang tinggal di balik pintu-pintu tertutup,

Dan di dalam rumah-rumah yang kosong

Sementara di luar rerumputan liar tumbuh

Anak-anak lelaki bermain air dan saling menciprat

Di dalam angin dan hujan,

Hujan yang sudah mulai

Menunggangi angin dingin utara

Membuat sayap-sayap angsa liar

Terlalu basah untuk terbang ringan;

Musim gugur ini kita tak melihat matahari

Hanya berhadapan dengan lumpur kotor!

Kapan oh kapan ibu pertiwi

Akan kering sekali lagi?

Suasana musim gugur tentu berbeda dengan musim panas sekarang ini, dan Du Fu menyebutkan hanya berhadapan dengan lumpur kotor kemungkinan untuk menggambarkan pasukan pemberontak pimpinan An Lushan yang sempat menguasai kota itu. Du Fu tidak berada di dalam kota ketika Chang'an berhasil diduduki, tetapi sejak musim gugur tahun 757 memang berada di sana, kemungkinan karena tertangkap di luar kota dan dibawa sebagai pengangkut barang ke dalam kota, sebelum dibiarkan pergi karena pangkatnya sebagai pegawai yang rendah 3. (bersambung)


1 Permainan akrobat. Dalam Longman Chinese-English Visual Dictionary of Chinese Culture (1998), h. 143.

2 Diterjemahkan dari puisi ketiga dalam "Melancholy in The Autumn Rain", dalam Rewi Alley, Tu Fu: Selected Poems (1962), h. 20-1. Meski hanya berhadapan dengan lumpur kotor dapat ditafsir sebagai pasukan pemberontak asal Uighur yang menguasai Chang'an, tetapi tercatat pula bahwa tembok kota kemudian dipertebal dasarnya menjadi 12-16 meter di bawah dan 12 meter di atas, sementara parit di baliknya yang semula luasnya 6,13 meter dan berkedalaman 4,62 meter dengan jembatan batu terentang 13,86 meter diperluas pula menjadi selebar 8 meter dan kedalaman bertambah 3 meter, kemungkinan sebagai solusi banjir dari Sungai Wei. Seluruh kota terletak di bawah garis tepi sepanjang 400 meter yang digunakan pemerintahan Dinasti Tang untuk menandai tepian dataran banjir. Dari "Chang An" dalam Wikipedia, diunduh 14 Agustus 2011. Puisi Du Fu, sebagaimana puisi-puisi Tiongkok, memang disebut memiliki 'tatabahasa ganda', yang menyebabkannya berkualitas sebagai 'perhiasan bersegi', seperti diungkap sinolog Paul Demieville, melalui Arthur Cooper, Li Po and Tu Fu (1973), h. 175.

3 Riwayat ini tidak terdapat dalam puisinya, karena mungkin Du Fu sendiri menganggapnya tidak penting, sehingga hanya merupakan dugaan. Ibidem
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:07 PM
#30 Kota 108 Petak Bertembok 4.5 5 Unknown August 1, 2014 KAMI berkuda melewati para pemain zaji cilik yang sepagi itu sudah jungkir balik memamerkan keterampilannya demi sepotong roti gandum. Dari balik tembok rumah-rumah gedung yang mewah, harum susu kedelai panas dan uap bakpau sampai ke hidungku, membuatku membayangkan makanan terhangat yang bisa disantap. KAMI berkuda melewati para pemain zaji cilik 1 yang sepagi itu sudah jungkir balik memamerkan keterampilannya demi sepotong roti gandum. Da...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak