#31 Bhiksu yang Mengenakan Caping Jerami

August 2, 2014   

KUINGAT puisi itu karena menyebutkan pintu-pintu tertutup dan rumah-rumah yang kosong, yang menggambarkan suasana muram kota ini dalam pendudukan An Lushan yang haus darah. Namun kini seolah-olah peristiwa itu tidak pernah terjadi, kota dengan 108 petak bertembok dan berpintu gerbang empat sisi, dua di antaranya seluas dua kali petak yang lain menjadi Pasar Barat dan Pasar Timur yang dirancang dan berada dalam pengawasan pemerintah, tampak begitu meriah.

Sembari berkeliling diam-diam kuhitung bahwa di balik tembok yang tingginya kurang sedikit dari tiga kali tinggi orang dewasa itu, tetapi kali ini pintu-pintunya terbuka, terdapat tak kurang dari 111 kuil Buddha, 41 wihara Dao, 38 rumah abu milik keluarga untuk bersembahyang kepada roh leluhur, dua kuil pemerintah, tujuh kuil bagi agama-agama orang asing, sepuluh petak bagi bangunan tempat kepentingan pedalaman diurus, duabelas penginapan besar, dan enam tanah pekuburan. Petak-petak kotapraja merupakan ruang terbuka dengan lapangan atau halaman belakang dari gedung-gedung mewah untuk bermain bola dengan kaki yang disebut cuju atau dengan tongkat penyepak bola sambil naik kuda.

Aku bertatapan mata dengan Yan Zi, selintas Elang Merah melihat bagaimana kami bertatapan itu, tetapi tidak kulihat perubahan pada wajahnya sama sekali, karena perhatiannya ternyata pada sesuatu yang lain.

Dengan sudut matanya Elang Merah memberi tahu bahwa kami diikuti orang. Di antara begitu banyak manusia yang lalu lalang, baik berjalan kaki, menaiki kuda, dibawa gerobak, diangkut tandu, di atas keledai, maupun menunggang unta 1, tidak terlalu mudah mencari penguntit yang dimaksud Elang Merah. Namun Yan Zi segera mengangkat dagunya, saat orang yang dimaksud itu justru datang mendekat ke arah kami. Orang itu berbusana seperti bhiksu yang mengenakan caping jerami, mengetuk-ngetukkan tongkatnya sambil berjalan, seolah-olah matanya buta tetapi sudah begitu mengenal lekuk liku jalanan. Ia melewati kami begitu saja, bagaikan kami tidak ada, meski bagi yang waspada ternyata tangannya bergerak dengan amat sangat cepatnya, dan kutahu ia melempar sesuatu yang segera disambar Elang Merah.

Bhiksu bercaping jerami itu berjalan terus dan menghilang di tengah keramaian. Elang Merah kulihat membuka lipatan lembaran yang disebut kertas itu, tempat huruf-huruf Negeri Atap Langit tampak tertoreh di situ.

"Pesan untuk kita," katanya, "agar kita menginap di Penginapan Teratai Emas."

Rupanya inilah sambutan jaringan Yang Mulia Paduka Bayang-bayang di Chang'an. Dalam kertas buram itu terdapat petunjuk jalan, bahwa tempat penginapan kami berada di bagian timur laut dari Chang'an, dan artinya sudah kami lewati, karena tempatnya berada di dekat Pasar Timur; sedangkan kami sekarang sudah meninggalkan Pasar Barat dan menuju ke selatan.

"Kita jalan terus saja," kata Elang Merah, "agar setidaknya sesampai di penginapan, kalian telah mendapatkan gambaran tentang luas dan isi kotaraja."

Tentang luasnya tentu sudah dapat diperkirakan dari panjang dan lebar tembok paling luar kota ini, tapi perbincangan tentang isinya sungguh jauh lebih beraneka. Telah kusebutkan jumlah petak bertembok dan berpintu gerbang pada empat sisi itu 108 jumlahnya, tetapi luasnya kota tidak dengan mudah diketahui melalui suatu perkalian, karena meskipun terdapat suatu keteraturan ukuran, luas berbagai jenis petak itu memang tidak semuanya sama. Luas petak terkecil dapat kuperkirakan sebagai perkalian sisi panjang 274 langkah dengan sisi lebar 39 langkah, sedangkan yang terbesar, di sisi utara di dekat Istana Daming sehingga disebut Kota Kemaharajaan, sebagai perkalian sisi panjang 940 langkah dengan sisi lebar 1880 langkah 2. Jika kusebut langkah, tentu maksudnya langkah lebar orang dewasa. (bersambung)


1 Disebutkan bahwa selama zaman Tang, permintaan akan unta begitu besar. Unta dipakai tidak hanya sebagai hewan pembawa beban, namun juga karena kain yang ditenun dari bulu unta, bahkan sebagai makanan. Du Fu disebut menulis dalam salah satu puisinya: punuk unta ungu yang muncul dari kuali biru. Disebut pula orang-orang Uighur dan Tibet mengirimkan unta mereka untuk Tang, sementara Khotan mengirimkan 'unta liar berkaki angin' dan unta juga bisa didapatkan di negara kota Tarim. Unta putih khusus didapatkan untuk Pasukan Khusus Unta Terang, yaitu pasukan tukang pos super yang membawa pesan kekaisaran ke daerah hunian di perbatasan dan memberikan peringatan dini akan masalah di perbatasan. Adapun yang disebut Unta Naga Terbang dipelihara di kandang kekaisaran. Baca Frances Wood, Jalur Sutra: Dua Ribu Tahun di Jantung Asia (2009), h. 89.

2 Disebutkan petak terkecil adalah 68 acre dan yang terbesar adalah 233 acre, seperti dalam ''Chang An" dari Wikipedia. Dengan pertimbangan bahwa 1 acre sekitar 4 meter persegi, maka berdasarkan skala pada peta didapatkan perbandingan panjang dan lebar untuk membagi luasnya dalam konversi meter, sehingga mendapatkan angka-angka "langkah lebar" tersebut. Langkah lebar orang dewasa sebetulnya konversi penulis atas meter, karena konversi ke Sanskerta, yakni padanannya yang disebut pada, meski dikuasai pula oleh Pendekar Tanpa Nama, tetap saja cukup rumit sebab panjangnya berbeda pula.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 12:51 PM
#31 Bhiksu yang Mengenakan Caping Jerami 4.5 5 Unknown August 2, 2014 KUINGAT puisi itu karena menyebutkan pintu-pintu tertutup dan rumah-rumah yang kosong, yang menggambarkan suasana muram kota ini dalam pendudukan An Lushan yang haus darah. KUINGAT puisi itu karena menyebutkan pintu-pintu tertutup dan rumah-rumah yang kosong , yang menggambarkan suasana muram kota ini dalam pen...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak