#91 Teka-teki Kaki Angin

October 1, 2014   

DALAM keterpejaman Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang kuketahui dengan pasti betapa angin itu baru akan tiba. Inilah kesempatanku. Aku berkelebat.

Tanpa mendaki gunung,
kita tak bisa menilai ketinggian langit
Tanpa menuruni lembah,
kita tak bisa menilai kedalaman bumi
Tanpa mendengar pepatah empu,
kita tak bisa tahu mutu belajar kata-kata orang suci,
meski ribuan tahun lalu tak menjadi tak guna 1


Ketika angin berhembus kembali seseorang telah terkapar memuntahkan darah di kaki pagoda. Ternyata dia bukan seorang bhiksu! Seorang penyusup! Apa yang mau dilakukannya? Aku mendekat dan memeriksa.

"Kaki Angin!"

Apakah yang dicarinya di Kuil Pagoda Angsa Liar? Mungkinkah ia sengaja mengikuti kami?

Ternyata dia masih hidup!

"Kaki Angin! Apa yang kamu lakukan di tempat ini?"

Ia membuka mata. Darah mengalir di sudut-sudut mulutnya.

"Harimau Perang...," katanya.

Aku berharap Kaki Angin bisa tetap hidup. Dalam seluk-beluk kerahasiaan seperti ini, sebuah keterangan lebih penting dan terutama lebih menyelamatkan nyawa seperti emas.

Namun tidak ada orang yang terkena pukulan Telapak Darah bisa tetap hidup. Pertarungan yang berlangsung dengan kecepatan pikiran seperti tadi, tidak akan memberi kesempatan seorang petarung untuk memeriksa wajah, karena sudah berlangsung di wilayah hidup dan mati.

"Ia jelas mengikuti kita tadi," ujar Yan Zi, yang hinggap seringan burung dari balik tembok, "tinggalkan saja, kita harus segera ke atas."

Bagaimana Yan Zi telah menghukum anggota Pengawal Burung Emas yang berjiwa mesum itu? Aku tak mungkin menanyakannya sekarang.

Langit memang sudah ungu muda, sebentar lagi menjadi merah jingga, lantas pagi mendatang. Saat itulah kami harus segera menghilang.

Yan Zi menjejakkan kaki dan melayang ke atas. Aku menjejakkan kaki dan melayang ke atas.

Tujuh kali lagi kami menjejak atap tiap tingkat dan sampailah di puncak ketika langit dengan sangat jelas berubah warna perlahan-lahan.

Di puncak Pagoda Angsa Liar kami menghirup napas dalam-dalam, menatap pemandangan dan diam. Teringat kembali puisi Du Fu: di puncak pagoda seseorang benar-benar merasa memasuki angkasa.

Kami menghadap ke utara. Chang'an yang masih lelap tergelar lengkap, meski Istana Daming yang berada di sudut timur laut hanya samar-samar belaka. Ini sungguh kota dunia, dengan kuil berbagai agama berdampingan di sana-sini, kadang bahkan dalam satu petak. Wihara Buddha, kuil Dao, kuil pengikut Kong Fuzi, tempat peribadatan kaum Ta ch'in yang puncaknya bersalib, maupun orang-orang Muhu yang menyembah api berselang-seling, bahkan juga berdampingan dalam satu petak. Kulihat permukiman orang-orang hu jen di tepi barat, tempat para pedagang Persia dan suku Uighur berada, yang disebut Petak I-ning. Kulihat Sungai Wei dan Sungai Ching yang disebutkan dalam puisi Du Fu, meskipun Du Fu mungkin menyaksikannya dari jendela di dalam ruangan di bawah atap tempat kami berdiri, itu pun yang menghadap ke timur, tempat jendela itu lebih menghadap langsung.

Langit terus bertambah terang, Kotaraya Chang'an menghamparkan dirinya. Gerbang-gerbang, danau-danau, kolam-kolam, gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah abu, gardu-gardu penjagaan, penginapan, gedung-gedung yang disewakan, maupun tanah pekuburan tampak dengan jelas. Tembok-tembok yang teratur rapi membuatku mengandaikan betapa Chang'an bukanlah kota yang tumbuh dengan sendirinya, melainkan direncanakan oleh para perancangnya di atas lembaran yang disebut kertas. Mereka tentu menggambar sebuah kotak yang nyaris memenuhi bidang kertas, dan kotak yang panjang dan lebarnya nyaris sama itu mereka bagi dengan garis-garis yang akan menjadi jalan besar dan kecil di dalam kota, sementara hasil pembagiannya akan menjadi petak-petak besar dan kecil, tempat ukuran luasnya akan menjadi hasil pembagian maupun hasil kelipatan yang sangat teratur.

Namun dari sini tak dapat kulihat apa pun dari Istana Daming. Mungkinkah memang sengaja bahwa bangunan setinggi 210 langkah ke atas 2 ini dijauhkan dari istana? Pernah kudengar percakapan di sebuah kedai bahwa peletakannya berdasarkan feng shui. Lebih dari 150 tahun yang lalu, yakni awal abad VII, seorang pejabat Sui mengamati bahwa suatu danau besar di bagian tenggara Chang'an mendesakkan akibat yang merugikan bagi ibu kota, dan menganjurkan pendirian pagoda yang bisa melawan pengaruhnya. (bersambung)


1 Kebijakan anonim Tiongkok kuno, dalam Minick, op.cit., h. 81.
2 Tepatnya 64,5 meter. Melalui "Big Wild Goose Pagoda" op.cit.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:24 PM
#91 Teka-teki Kaki Angin 4.5 5 Unknown October 1, 2014 Aku berkelebat. Tanpa mendaki gunung, kita tak bisa menilai ketinggian langit. Tanpa menuruni lembah, kita tak bisa menilai kedalaman bumi. Tanpa mendengar pepatah empu, kita tak bisa tahu mutu belajar kata-kata orang suci, meski ribuan tahun lalu tak menjadi tak guna. DALAM keterpejaman Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Lubang kuketahui dengan pasti betapa angin itu baru akan tiba. Inilah kesempatanku...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak