Kemungkinan itu terbayang olehku. Mungkin saja Maharaja Dezong suatu ketika mendapat pencerahan, bahwa kehidupan seorang maharaja adalah kehidupan yang sangat mengenaskan, dan karena itu dirancangnya suatu cara untuk keluar dari istana, untuk selama-lamanya.
Kukira seorang maharaja justru sangat mungkin memikirkan gagasan semacam itu. Kenapa tidak? Kemewahan adalah kemewahan. Bagi manusia kemewahan tidak akan pernah cukup. Dalam kemewahan seorang maharaja bisa merasa sangat miskin, karena istana termewah bagi seorang yang bijak hanyalah kandang ayam dibandingkan dengan semesta ini. Sedangkan seorang maharaja tentu saja selalu bijak. Bukankah segenap guru dan mahaguru terbaik di Negeri Atap Langit telah didatangkan hanya untuk membuatnya bijak?
Dalam olah kebijakan akan ditemukannya, betapa tujuan hidup manusia ternyata cuma satu, yakni mencari kebahagiaan. Kukira mungkin saja sang maharaja ingin meninggalkan segala kemewahan dan mencari kebahagiaan. Ia akan merasa sangat bahagia mendapat istri seorang gadis desa, membangun rumah tangga dan sudah merasa cukup bahagia hidup dengan sebuah gubuk beratap rumbia, sebidang ladang, sepetak kebun, dan beberapa ekor ternak.
Namun Panah Wangi menepisnya dengan wajah merendahkan.
"Kekuasaan dan kemewahan tidak membuat manusia secerdas itu," katanya.
Zhuangzi berkata:
bagaimana aku tahu
mencintai kehidupan
bukanlah khayalan?
dan tak suka kematian
bukan seperti
orang muda tersesat
tak tahu dirinya
sebetulnya pulang? 1
mencintai kehidupan
bukanlah khayalan?
dan tak suka kematian
bukan seperti
orang muda tersesat
tak tahu dirinya
sebetulnya pulang? 1
"Marilah kita menuju kedai," kataku, "siapa tahu banyak yang bisa membantu."
Panah Wangi mengikuti langkahku tanpa berkata-kata lagi. Kami telah membahas, terdapat kemungkinan maharaja telah bekerja sama dengan para penculiknya, tetapi belum dapat kami duga apakah dalam arti mengagumi mereka, atau hanya berpura-pura bersedia dan menanti kesempatan untuk melepaskan diri.
Ketika kami tiba di kedai, ternyata sejumlah orang telah menunggu di dekat kuda kami. Orang-orang itu memperhatikan kuda kami. Mereka adalah para pengantar surat. Seseorang mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti. Dijawab oleh Panah Wangi juga dengan sesuatu yang tidak kumengerti. Rupa-rupanya bahasa sandi! Bagaimana jika Panah Wangi dulu bukan mata-mata dan aku sampai ke tempat ini sendiri saja?
"Kalian anggota Pasukan Hutan Bersayap?"
Kukira sebaiknya Panah Wangi yang menjawab.
"Apakah aku terlihat seperti orang kebiri?"
"Kau tidak terlihat seperti orang kebiri, kamu terlihat seperti orang perempuan."
Panah Wangi membuka capingnya, ia mengenakan tutup kepala yang disebut fu tou, tetapi wajahnya yang lusuh karena perjalanan ini tetap cantik jelita. Orang-orang sampai diam-diam menarik napas.
"Aku memang perempuan, apakah kiranya yang bisa menjadi persoalan jika aku seorang perempuan?"
Orang yang tadi bertanya mengembangkan senyuman mesum.
"Oh, tentu tidak ada persoalan, karena dirimu sudah menjadi orang kebiri tanpa perlu dikebiri lagi! Hahahahahahahahaha!"
Semua orang tertawa. Panah Wangi tampak tersinggung.
"Lucu? Baik, tertawalah terus!"
Lantas tangannya bergerak cepat. Orang yang menertawakannya itu ditotoknya pada jalan darah tertentu, yang melancarkan perasaan bahagia, tetapi yang kali ini berlebih-lebihan secara luar biasa, sehingga tertawa terbahak-bahak tiada hentinya, sampai tercekik-cekik tak bisa bernapas. Apabila Panah Wangi menghendakinya, orang itu bisa mati tertawa tetapi tentu saja ia tidak pernah ingin membunuhnya. Orang itu hanya terus-menerus tertawa sambil memegangi leher yang seperti mencekiknya.
"Siapa lagi yang mau menghina perempuan?"
Panah Wangi sudah memegang pedang jian dengan sikap seolah-olah siap memenggal. Meskipun para pengantar surat termasuk jauh lebih unggul dibandingkan sembarang prajurit, mereka waspada dengan gerakan tingkat pendekar dari Panah Wangi. Dalam penyamaran macam apa pun, langkah dan gerak paling sulit disembunyikan. Barangkali pernah kusampaikan, di antara para pendekar sedikit gerakan saja sudah cukup untuk mengenali tingkat ilmu, aliran persilatan, dan jurus-jurus yang dikuasainya. Jika sebelum bertemu sudah terdapat kaitan persoalan, apalagi itu dendam, saling melirik, bisa langsung disusul bentrokan.
Betapapun, para pengantar surat ini tidak ada satu pun yang bermaksud jahat.
"Ah, jangan marah dulu Puan Pendekar," kata yang lainnya, "sebetulnya kami hanya ingin sekadar bertanya."
"Soal apa?"
"Soal kuda."
"Apa yang ingin kalian tanyakan?"
"Itu kuda tempur Pasukan Hutan Bersayap, bagaimana mungkin bisa berada di tangan kalian?"
Kemudian semua orang di situ mencabut pedang! (bersambung)
1. James Legge, The Text of Taoism [1962 (1891)], h. 194.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak