#234 47: Menghadapi Para Perompak

February 21, 2015   

KAUM perompak yang berenang di bawah permukaan air dan melaju seperti lumba-lumba telah semakin dekat, tetapi belum semua orang mencabut senjatanya. Di perahuku terdapat seorang Dashi bersama tiga unta dan seekor kuda yang ditungganginya. Aku dan Panah Wangi bersama kuda kami dan pengemis tua berjanggut putih yang busana maupun capingnya sungguh compang-camping itu. Di padang luas itu ia datang berjalan kaki dengan tongkatnya, dan pada tongkat bercabang itu tergantung bungkusan kain berisi bekal. Bungkusan kain itu pun lusuh, bahkan juga bertambal seperti busananya. Pada pinggangnya terlihat pundi kulit berisi air minum yang seperti tidak pernah habis diminumnya.

Sekarang pun ia menenggak air dari pundi kulit itu, tetapi menggunakannya untuk berkumur. Kukira ia sungguh terlalu tenang menghadapi para perompak yang datang menyerbu. Apakah ia seorang pengemis atau bukan pengemis?

Orang Dashi itu sudah mencabut pedangnya yang melengkung, dan bahkan dalam cahaya dini hari yang belum terlalu terang pun pedang itu berkilatan. Apabila terdapat kepala milik perompak muncul di sisi, niscaya akan terlepaslah kepala tersebut dari lehernya. Namun jangan disebut perompak sungai jika tidak piawai bermain di sekitar perahu, bukan? Mendekati perahu, perompak pertama pada kedua sisi langsung hilang di bawah perahu, dan baru tiga orang di belakangnya secara bersamaan muncul, dan langsung naik di pinggir perahu dengan golok tanpa sarung yang hanya diikat tali di punggungnya.

Muncul bersamaan tiga orang di sisi kanan perahu, dan tiga orang lagi di sisi kiri, tentu lebih menyulitkan pertahanan sehingga orang Dashi yang tadi siap sekarang tertegun. Golok salah satu perompak nyaris membelah dadanya jika sebatang anak panah tidak dengan segera menancap pada dahi perompak itu. Dua panah lain dari Panah Wangi sudah menancap pula pada dahi dua perompak yang lain di sisi kiri perahu; sementara di sisi kanan, pengemis tua berjenggot putih segera menyemburkan minuman yang dikumurnya. Ketiga perompak yang muncul di sana menjerit dengan wajah terbakar api dan tersentak kembali masuk ke sungai.

Di haluan dan buritan kulihat kedua tukang menggebuk dengan dayung yang justru ditarik masuk ke dalam sungai. Jika mereka ditarik ke dasar sungai tentu riwayat keduanya berakhir sampai di sini, maka aku pun menerjunkan diri. Udara begitu dingin dan air sungai lebih dingin lagi, tetapi para perompak yang hanya mengenakan kancut itu memang berusaha menjalankan rencana mereka secepatnya.

Ini baru kusadari ketika di dalam air kulihat pada masing-masing perahu dua orang perompak berusaha melubangi dasarnya. Pantaslah kedua perompak yang melaju di sisi kiri dan kanan pada tiap perahu langsung menghilang dan tidak naik ke perahu. Aku harus cepat, sebab jika tidak, ketiga perahu ini akan tenggelam. Aku pun mendekati mereka, yang sedang membuat lubang dengan cara menusuk dan menguak sambungan papan pada perahu dengan goloknya.

Begitu mereka melihatku langsung mereka menyerangku lebih dulu pada kedua bahu, seolah-olah ingin mengutungkan kedua tanganku. Aku bergerak lebih cepat, memuntir putus kedua tangan yang mengayunkan golok itu pada pergelangan tangannya, dengan tangan kiri maupun tangan kananku. Mereka menjerit kesakitan, tetapi di dalam air tentu bukan hanya tiada terdengar, melainkan airnya masuk ke dalam mulut dan mungkin saja paru-paru mereka. Kuharap kerusakan yang mereka buat belum terlalu parah.

Kutengok kedua perahu penyeberangan yang lain. Jika hanya diriku yang terjun ke dalam air, tentu kedua perahu itu akan sempat dilubangi. Namun sungai ini berair coklat, dan pada pagi yang baru dimulai, segala sesuatu belum begitu jelas. Juga dalam keadaan kacau ketika para pendayung harus membela diri mereka sendiri, maka arus sungai telah membuat ketiga perahu ini terpisah jauh, sehingga dari dalam air aku tidak bisa melihat dasar perahunya sama sekali. Maka kuputuskan untuk naik ke atas perahu penyeberangan itu saja, dan dari sini dengan ilmu meringankan tubuh aku bisa melesat ke mana pun perahu yang lain itu berada.

Mozi berkata:

bagaimana kita tahu orang-orang terhormat dunia ini jauh dari kebaikan?

para raja negara besar yang bersaing berkata:

"Menjadi negara besar, jika tidak kuserang negara-negara kecil,

apa yang membuatku besar?" 1


(bersambung)

1. Lin Yutang, The Wisdom of China and India (1942), h. 804-5.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 12:26 PM
#234 47: Menghadapi Para Perompak 4.5 5 Unknown February 21, 2015 bagaimana kita tahu orang-orang terhormat dunia ini jauh dari kebaikan? para raja negara besar yang bersaing berkata: ''Menjadi negara besar, jika tidak kuserang negara-negara kecil, apa yang membuatku besar?" - The Wisdom of China and India (1942) KAUM perompak yang berenang di bawah permukaan air dan melaju seperti lumba-lumba telah semakin dekat, tetapi belum semua orang mencabut sen...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak