Di antara deru dingin masih terdengar ledakan demi ledakan dari perbenturan selendang sang Selendang Setan dengan tongkat Pengemis Tua Berjenggot Putih. Selendang Setan adalah pewaris kepemimpinan dari ayahnya yang disebut Ular Sungai, sehingga kelompoknya disebut Kesatuan Perompak Ular Sungai.
Ular Sungai memberi nama kesatuan untuk menegaskan perbedaannya dengan gerombolan, karena anak buahnya dilatih seperti tentara, dan mereka merampok hanya untuk membagikannya kembali kepada orang desa yang miskin.
Namun mereka tidak bisa memilih, dan memang tidak sempat mengetahui sebelumnya, apakah korban perampokan mereka itu orang yang mendapatkan kekayaannya secara curang ataukah secara baik-baik, bahkan cukup sering ternyata bukan orang kaya sama sekali. Para bhiksu maupun rahib Dao yang membawa uang dana pembiayaan kuil, misalnya, pun tidak luput dirampok, dan berita yang mengenaskan karena peristiwa itu akan membuat pemerintah Wangsa Tang mengirimkan pasukan untuk membasminya.
Betapapun, penduduk desa miskin yang sering mendapat pembagian harta rampokan akan selalu membantu mereka, menyembunyikan atau menyesatkan arah pengejaran, sehingga sangatlah sukar pembasmian itu dilakukan, kecuali bahwa untuk beberapa saat penyeberangan dan perlintasan sungai di daerah itu menjadi aman.
Setelah 20 tahun, Kesatuan Perompak Ular Sungai masih bertahan. Ular Sungai yang sangat disegani telah meninggal karena usia tua, Selendang Setan bisa menggantikannya bukan karena ia satu-satunya anak Ular Sungai, melainkan karena bisa menyingkirkan tiga pesaing di gelanggang pertarungan yang semuanya lelaki.
Dalam dunia kaum perompak, pewarisan kekuasaan karena keturunan tidak berlaku, karena kursi kekuasaan harus diperebutkan dalam pertarungan sampai salah satunya mati. Dengan cara ini terjamin kekuasaan akan terjatuh ke tangan orang kuat, sedangkan jika berdasarkan keturunan, meskipun seorang pemimpin itu perkasa dan berwibawa, belum terjamin keturunannya akan sama kuatnya. Tiada kudengar cerita tentang Selendang Setan yang memiliki suami atau kekasih, tetapi Pengemis Tua Berjenggot Putih itu kukira sebenarnya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Selendang Setan.
Jianzhi Sengcan berkata:
mematuhi jangan dengan kemenduaan,
hati-hati, hindari pengejarannya;
begitu dikau memiliki
benar dan salah,
terjadilah kebingungan,
dan pikiran hilang 1
hati-hati, hindari pengejarannya;
begitu dikau memiliki
benar dan salah,
terjadilah kebingungan,
dan pikiran hilang 1
Mereka masih bertarung, tetapi aku dan Panah Wangi sibuk dengan pasangan suami-istri berbusana indah yang hampir tenggelam itu. Mereka berdua pingsan tanpa dapat kuketahui sebabnya, tetapi kuduga karena ketakutan luar biasa di tengah alam bebas yang tidak pernah diakrabi. Busana indah mereka jelas bukanlah busana perjalanan, dan kuduga keduanya belum pernah keluar dari Chang'an. Siapakah mereka?
"Anak ini sempat menelan banyak air," kata Panah Wangi, "bisakah kamu berikan pernapasan buatan?"
"Mengapa bukan dirimu saja yang memberikannya?"
Memberikan pernapasan buatan bukanlah tindakan yang sulit, tetapi dunia persilatan di Negeri Atap Langit seperti tidak mengenalnya, mungkin karena tiada ceritanya seseorang dari tingkat pendekar tenggelam. Jika mereka tidak bisa berselancar di atas permukaan air, tentu bisa berenang seperti lumba-lumba. Lagi pula hampir semua persoalan tubuh diselesaikan dengan tenaga prana, sedangkan pernapasan buatan bahkan orang awam, jika pernah dilatih sedikit saja, bisa melakukannya.
Namun aku merasa ragu, mungkin karena suaminya, meski masih pingsan juga, ada di situ. Mereka yang tidak mengenal pernapasan buatan, pasti akan salah duga saat melihat orang melakukannya.
"Lakukan sajalah, dia tidak bernapas dari tadi," desak Panah Wangi.
Aku sudah memilih untuk memberikan totokan saja, ketika perempuan muda berbusana indah itu memuntahkan air dari mulutnya.
"Liu!" Ia mencari suaminya. Lantas dilihatnya suaminya juga terbaring pingsan. Ia langsung bangkit dan memeluknya.
"Liu! Jangan mati Liu!"
Saat itulah Selendang Setan berjungkir balik ke dekat perahu kami, dan menyabetkan senjatanya itu ke arah perempuan yang menangis sambil memeluk lelaki yang dipanggilnya.
"Matilah kamu iblis betina!"
Tentulah ini membuat kami semua terperangah, karena meskipun tempat bertarung Selendang Setan dan Pengemis Tua Berjenggot Putih itu agak jauh, Selendang Setan ternyata mengetahui apa yang terjadi, dan dapat sampai kemari dalam sekedipan mata! (bersambung)
1. Dari Seng-Ts'an (meninggal tahun 606), "On Believing in Mind", dalam Edward Conze, Buddhist Scriptures [1973 (1959)], h. 172.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak