#239 48: Antara Ingatan dan Pengetahuan

February 26, 2015   

PARA penumpang telah menyeberang ke tepian dengan melangkah dari batu ke batu, begitu pula kuda dan unta yang tidak pernah lebih dari para majikannya. Kuda dan unta dari perahu lain yang tadi terseret arus, rupanya dapat berenang mencapai tepian dan dapat mencari kembali rombongannya. Dua kuda kini tidak lagi berpenunggang. Kami periksa kuda itu, tampak seperti kuda asal Dashi yang terawat amat sangat baik, dan jika bukan Chang'an tentu adalah Loyang, kota terbesar kedua di Negeri Atap Langit yang menjadi tempat pemeliharaannya.

"Ini kuda terbaik milik orang yang terlalu kaya," kata Pengemis Tua Berjenggot Putih sembari mengelus punggungnya, "Pendekar Tanpa Nama dan Pendekar Panah Wangi pantas menungganginya."

Aku dan Panah Wangi saling memandang, tampaknya begitu luas dunia ini, tetapi juga seringkali terasa begitu sempitnya ketika di mana pun tempatnya seseorang ternyata mengenali kita. Namun pengalamanku dikeroyok tujuh mata-mata Uighur hanya karena menunggangi kuda saudara seperguruan mereka,

"Apa yang berlangsung di Chang'an tersebar ke mana-mana, bahkan sampai ke Kerajaan Tibet dan Khaganat Uighur," ujarnya lagi. "Tidak perlu heran jika orang yang mencari nama dalam dunia persilatan akan mencari kalian."

Benarkah begitu? Kukira yang dimaksudnya adalah dunia persilatan saja, selapis dunia tempat para pendekar hanya memikirkan kesempurnaan ilmu silat dengan cara pengujian menempur pendekar lain yang sudah ternama. Maka semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar namanya, semakin harus siap dia dengan serangan macam apa pun untuk melumpuhkannya. Mulai dari pertarungan di atas bukit pada malam bulan purnama sampai serangan jarum beracun dari belakang ketika sedang bersantap di dalam kedai. Semua sama sahihnya karena serangan dan tantangan dapat datang dari golongan putih, golongan merdeka, maupun golongan hitam.

Kami berdua menjura kepadanya.

"Pengemis Tua Berjenggot Putih sangat merendah, namanya tersebar ke delapan penjuru angin, tetapi kami yang berilmu dangkal tidak merasa cukup layak meminta pelajaran," ujar Panah Wangi.

Pengemis Tua Berjenggot Putih itu mengelus-elus jenggotnya sambil tersenyum ramah.

"Sudahilah basa-basi itu anak muda," katanya, "meskipun diriku berhak menantangmu, sebenarnya aku sudah mengundurkan dari dunia persilatan, menghindari pertarungan, dan sekarang hanya berminat menyusuri kembali jejak langkah masa mudaku. Tidak kusangka masalah 20 tahun lalu menyala kembali di tempat ini."

Aku tidak mengetahui apa kiranya masalah Pengemis Tua Berjenggot Putih dengan kepala perompak yang disebut Selendang Setan itu, tetapi kukenal namanya dari perkara lain yang pernah kudengar menjadi perbincangan di sebuah kedai. Dahulu kala ia hanyalah seorang pengemis yang dilahirkan oleh orang tua pengemis, dan sejak kecil telah menjadi bagian dari jaringan Partai Pengemis.

Setelah dewasa ia memegang kedudukan penting sebagai ketua jaringan, tetapi segera berselisih dengan ketua partai dan keluar dari Partai Pengemis, karena tidak bisa menerima jika jaringan itu dimanfaatkan partai untuk mencari uang. Ketika jasa jaringan yang memiliki keterangan-keterangan berharga diperjualbelikan kepada siapa pun yang mampu membayarnya, tanpa memeriksa siapakah kiranya yang membutuhkan keterangan-keterangan itu. Dalam pengembaraannya sebagai pendekar ia tidak pernah memperkenalkan diri, tetapi lambat laun ia dikenal sebagai Pengemis Tua Berjenggot Putih.

Sang Buddha berkata kepada bhiksu yang tidak setia:

meskipun dikau dapat mengutip

semua ajaran dari ingatan,

dikau gagal menjalankan.

dikau tak dapat dipertimbangkan

sebagai orang berpengetahuan. 1


Pengemis Tua Berjenggot Putih itu berbicara tentang sepasang suami-istri berbusana indah.

''Sepasang suami istri itu memang agak membingungkan, tetapi dalam dunia persilatan kita harus membiasakan diri ketemu orang yang perilakunya membingungkan. Suami istri muda itu, misalnya. Meski ilmu silatnya tinggi, senang sekali berpura-pura secara berlebihan untuk bersikap sebagai orang awam. Lihatlah bagaimana mereka berbusana dengan sangat mencolok ketika maksudnya menyamar, berpura-pura tidak bisa berenang padahal bisa berjalan di atas air, dan akhirnya menyerang orang-orang tanpa mengetahui kepandaian mereka yang sebenarnya. Mereka akan terkenal, tetapi sebagai contoh kepandiran.

''Puan dan Tuan Pendekar berdua tidak usah sungkan-sungkan meneruskan perjalanan, biarlah yang sudah terbunuh ini kuurus di sini. Kukira suaminya memiliki atau pernah memiliki hubungan cinta dengan Selendang Setan, sehingga ia bermaksud membunuh perempuan itu. Biarlah kutangani penguburan mereka, aku pun ternyata masih memiliki piutang urusan di wilayah ini."

Setelah menjura, mengucapkan terima kasih dan memberikan salam perpisahan, kami pun menaiki kuda dan mencongklang melanjutkan perjalanan, memburu sang maharaja bayangan! (bersambung)

1. W. Y. Evans-Wentz, The Tibetan Book of the Great Liberation [1973 (1954)], h. 125.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 1:59 PM
#239 48: Antara Ingatan dan Pengetahuan 4.5 5 Unknown February 26, 2015 Sang Buddha berkata kepada bhiksu yang tidak setia: meskipun dikau dapat mengutip semua ajaran dari ingatan, dikau gagal menjalankan, dikau tak dapat dipertimbangkan sebagai orang berpengetahuan. - The Tibetan Book of the Great Liberation PARA penumpang telah menyeberang ke tepian dengan melangkah dari batu ke batu, begitu pula kuda dan unta yang tidak pernah lebih dari para m...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak