Kupandang Panah Wangi dan dia mengangguk, maka melesatlah aku sepanjang sungai itu dengan mengandalkan sentuhan telapak sepatu pada permukaan. Pada titik mereka hilang tidak kutemukan apa pun, apakah keduanya tenggelam? Aku melesat terus agak lebih maju, dan ketika masih saja tidak kulihat apa pun kecuali permukaan air dan deru angin, aku segera menyelam.
Mengingat derasnya arus, jika mereka tenggelam, kukira akan sangat sulit dikejar lagi, sehingga setelah menyelam ke dasarnya aku pun naik kembali dengan perasaan setengah putus asa. Alangkah malangnya kedua pasangan itu, pikirku, masih muda, mungkin baru saja menikah, menikmati hidup dengan riang, seperti ditunjukkan dengan pengenaan busana indah, tetapi ketika untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar kota, mungkin saja untuk bertamasya, mengalami nasib begini rupa.
Namun ini tentunya hanyalah dugaanku saja, karena diriku tentu tidak memiliki pengenalan yang cukup atas dugaan semacam itu. Apalagi, tentunya ada sesuatu yang lebih penting daripada tamasya, jika orang kota yang berenang pun tidak bisa, cukup nekad melakukan perjalanan penuh marabahaya ke daerah peperangan yang bahkan orang-orang sungai telaga dan rimba hijau pun jamak kehilangan nyawa.
Memang kurasakan ada sesuatu yang tidak biasa, dan aku belum dapat mengetahui sebetulnya apa. Mungkinkah busana indah itu sendiri yang memang tidak semestinya? Dalam perjalanan di alam bebas seperti ini, orang mengenakan baju ringkas yang pasti bukan terbuat dari sutera, dan pasti pula bukan jubah, kecuali perjalanannya sebatas menuju Taman Terlarang. Lantas, apa pula urusannya Selendang Setan mengarahkan sabetan yang bisa meremukkan kepala sang istri, yang sedang menangis dengan panik sambil memeluk suaminya, sembari menyebutnya iblis betina pula?
Laozi berkata:
bencana terbesar
adalah menyerang dan tidak menemukan musuh;
aku bisa tak punya musuh
hanya dengan menghilangkan segala milikku 1
adalah menyerang dan tidak menemukan musuh;
aku bisa tak punya musuh
hanya dengan menghilangkan segala milikku 1
Begitu aku muncul ke permukaan, kurasakan sambaran angin maut setajam pedang jian, sehingga kepalaku terpaksa kumasukkan ke balik permukaan air lagi. Dalam jarak hanya setebal satu jari, air di samping telingaku mendesir, tanda angin pukulan ini memang mampu merobek tubuh seseorang seperti pedang jian. Pengirim angin pukulan itu mengejarku seperti sedang berlari di atas lantai kaca yang tebal, tetapi yang bacokan-bacokan angin pukulannya terus-menerus tembus, sehingga aku harus menghindar dengan terus-menerus berenang seperti lumba-lumba di bawah permukaan air.
Apabila pukulan-pukulan yang membelah air itu masih terus mengejarku dengan tujuan membunuh, aku pun menyelam dalam-dalam sampai pukulannya tidak mencapaiku, lantas berbalik melepaskan Jurus Pukulan Pembelah Laut ke permukaan sungai tempat ia berdiri melepaskan pukulan-pukulannya. Maka sungai terbelah dan aku melayang jatuh untuk disambut mesra oleh angin pukulan setajam pedang jian pula, tetapi kali ini dariku. Ketika belahan sungai itu menutup kembali, ia tinggal tubuh yang melayang kembali ke permukaan sungai.
Semua itu berlangsung cepat, sangat amat cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat, tempat sedikit saja kelengahan harus dibayar dengan nyawa. Akibatnya tiada waktu untuk memeriksa siapa yang bermaksud membunuh diriku, kecuali jika calon pembunuhku itu sudah kulumpuhkan terlebih dahulu. Tentulah aku sangat terkejut ketika muncul ke permukaan sungai dan mengenalinya sebagai suami muda berbusana indah, yang tadi pingsan dan sempat kutolong itu.
"Apa artinya semua ini?"
Aku bertanya ketika tiba kembali ke perahu kami yang sudah remuk. Semua kuda dan unta di perahu kami selamat, tetapi barang dagangannya basah kuyup, termasuk kain sutera. Orang Dashi itu memaki-maki dalam bahasa yang tidak kumengerti.
"Tidak ada yang tahu artinya," kata Panah Wangi, ''istrinya tiba-tiba mengamuk tanpa sebab yang jelas."
Kulihat mayat istri kasihan yang meratap-ratap tadi, dengan anak panah di dahinya. (bersambung)
1. Dari ayat ke-69 dalam Daodejing, melalui Arthur Waley, The Way and Its Power [1968 (1934)], h. 228.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak