Kupejamkan mataku dan kurapal ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang. Melalui suara angin yang terbelah, tergambar dalam keterpejaman mataku sebuah sosok dengan dua tangan terpentang memegang pedang jian, yang ternyata juga membelakangiku!
Baru kusadari diriku tidak membawa senjata, kecuali jika uang tail emas dan perak bisa dianggap senjata karena sebetulnya memang aku sedang berada dalam penyamaran. Aku sungguh harus berhati-hati, bukan karena tidak membawa senjata, melainkan karena dalam kedudukan membelakangi seperti itu kepekaannya akan menjadi berlipat ganda. Sangat mungkin dia juga memejamkan mata.
Kukutuk dia dalam hatiku karena menantangku bertarung di tengah jalanan di dalam kota seperti ini, ketika orang berlalu-lalang tanpa bisa diketahui akan melintasi wilayah pertarungan atau tidak. Pertarungan seperti ini adalah pertarungan tersulit karena seorang pendekar sejati tidak akan menumpahkan darah siapa pun yang tidak bersalah. Berbeda dengan pertarungan di tengah medan pertempuran, tempat hampir semua pembunuhan adalah sahih, sehingga ketika angin pukulan seorang pendekar tanpa sengaja membunuh banyak orang tidak akan disalahkan. Pertarungan di tengah kota memiliki hukum lain.
Dalam pertarungan di tengah kota yang merupakan dunia awam, para pendekar wajib untuk memisahkan dunia persilatan dari dunia awam itu karena sebenarnya dunia persilatan merupakan dunia yang lain. Dalam dunia persilatan para pendekar berkelebat tak terlihat, melayang dengan ilmu meringankan tubuh, menotok dari jarak jauh, menepuk batu menjadi tepung, dan membelah rambut, bukan memotong, menjadi tujuh dengan pedang mestika, jelas tidak untuk menjadi bagian dari dunia awam, melainkan sebaliknya untuk melepaskan dan membebaskan diri dari dunia awam itu.
Kong Fuzi berkata:
ia tidak memamerkan
nilai akhlaknya
betapapun
semua pangeran
mengikuti langkahnya. 1
Aku membelakanginya dan ia membelakangiku dengan dua pedang jian terpentang ke arah bawah, ciri Ilmu Pedang Wilayah Timur yang sangat ternama. Berarti dia sudah datang dari tempat yang jauh untuk menantangku. Mungkin saja selama ini ia telah mengembara dan mengalahkan banyak pendekar. Barangkali ia yang menantang, barangkali ia yang ditantang, tetapi dapat kubayangkan dia melangkah dari tahun ke tahun dari wilayah timur, mengalahkan lawan satu demi satu sampai kemari.
Orang-orang mengalir dari depan dan belakang. Untuk sesaat, sesaat saja, mereka akan melihat kami, tetapi kami segera lenyap dalam pertarungan silat tingkat tinggi yang begitu cepat, sangat amat cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat, sehingga tiada seorang awam pun bisa melihatnya. Orang-orang yang berlalu-lalang ini kemudian memang tidak mengetahui betapa di sekitarnya kami telah bertarung dengan kecepatan yang tidak terlihat itu. Mungkin terasakan kesiur angin dan kelebat bayangan sepintas, tetapi yang tidak akan pernah disadari betapa di sekitarnya berlangsung pertarungan antara hidup dan mati.
Dalam waktu terlalu singkat, telah kuhindari 500 sambaran pedang di tangan kanan maupun 500 sambaran pedang di tangan kiri yang silih berganti dalam paduan indah Ilmu Pedang Wilayah Timur yang sulit dibedakan dengan tarian, meski tentu saja bukan sekadar tarian melainkan tarian dua pedang dengan ancaman kematian dalam jarak setipis benang untuk menamatkan kehidupan. Beberapa kali pendekar yang tidak menyebutkan namanya itu berjungkir balik di atas kepalaku sembari menggunting, yang tanpa kewaspadaan tinggi terhadapnya tentu kepalaku ini tiada lagi.
Maka dengan segala hormat kugunakan Ilmu Bayangan Cermin untuk menyerap segenap jurus Ilmu Pedang Wilayah Timur yang ternama itu untuk kukembalikan kepadanya sebagai jurus tangan kosong dalam pembalikan cermin yang membingungkannya. Ia membuka mata dan dengan begitu justru kepekaan inderanya semakin berkurang, karena hanya tipu dayalah yang terlihat oleh matanya itu.
Demikianlah ia berkelebat menghindar, tetapi aku tidak membiarkannya. (bersambung)
1. Lin Yutang, The Wisdom of Confucius (1938), h. 133.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak