#311 63: Pengembaraan Mencari Kematian

May 10, 2015   

PERTARUNGAN dunia persilatan di jalanan orang awam di kota besar akan menjadi pertarungan tersulit ketika banyak orang berlalu lalang, karena bagi pendekar yang bertarung jatuhnya korban akibat sabetan pedang jian salah sasaran wajib dihindarkan. Pertarungan yang tidak dapat dilihat mata awam itu sendiri, karena berlangsung lebih cepat dari cepat, memang tidak akan mengganggu kehidupan selama pergerakannya tidak berhenti karena petarungnya tewas.

Demikianlah pendekar yang datang dari wilayah timur, dengan mengandalkan Ilmu Pedang Wilayah Timur yang ternama itu, yang sambaran dan sabetannya begitu cepat, sehingga jarak ujung pedangnya dengan kulitku hanya setipis benang, telah berhasil kudesak dengan Ilmu Bayangan Cermin. Di setiap tempat ia kucegat, sambil menunggu jalanan kosong, karena bila aku menjatuhkannya sekarang ketika orang-orang masih berlalu lalang, tentu akan terjadi kegemparan. Bagaimana tidak akan terjadi kegemparan jika tiba-tiba muncul tubuh bersimbah darah yang seperti terlontar begitu saja dari ketiadaan?

Maka tetap kutunggu jalanan kosong, dan untunglah memang semakin kosong ketika angin menjadi semakin dingin. Ilmu Pedang Wilayah Timur telah kuserap semuanya ke dalam perbendaharaan ilmu silatku, dan kukembalikan kepadanya de­ngan seketika, dalam pembalikan yang mengacaukan pemusatan perhatiannya. Meski diriku bertangan kosong, dengan kecepatan yang lebih tinggi kedua pedangnya kehilangan arti. Bukan diriku tetapi dialah yang mesti menghindari sambaran tanganku yang sekeras besi membara api.

Pada saat jalanan kosong, aku merasa sudah waktunya menyelesaikan kisah pertarungan selingan ini. Kuhentikan seranganku dengan mendadak, secepat kilat ia menebaskan dua pedang dengan guntingan membuka. Pedang di tangan kiri menebas ke kiri, pedang di tangan kanan menebas ke kanan, dengan pengandaian leherku tergunting putus. Namun kedua pedangnya menebas angin, karena kepalaku lebih cepat lagi menghindar, dan sambil berkelit telapak tangan kiriku mendorong dadanya yang tanpa pertahanan sama sekali dengan pukulan Telapak Tangan. Terlontarlah ia ke dunia awam dengan gambar telapak berdarah pada dadanya itu.

Kubuka mataku. Ia terguling-guling di jalanan lantas berhenti. Ia terkapar dengan napas tersengal dan mulut memuntahkan darah. Aku bisa berkelebat pergi, tetapi aku mendatanginya.

"Aku sudah memperkirakan betapa diriku akan perlaya melawanmu, yang tidak menjadi masalah bagiku asalkan aku dapat mencicipi Jurus Tanpa Bentuk. Tetapi rupanya ilmuku tidak cukup tinggi untuk itu," katanya, "Betapapun aku bersyukur kamu sudi bertarung denganku."

"Mengapa kamu tidak menyebutkan nama, wahai Tuan Pendekar?"

Menjelang ajalnya dia masih bisa tersenyum.

"Pendekar Tanpa Nama, kamu saja tiada bernama, mengapa pula aku harus menyebutkan nama?"

Lantas ia memejamkan mata dan mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Selintas kuperhatikan pendekar dari wilayah timur itu. Rambutnya yang putih tertutup fu tou putih tetapi yang warnanya sudah tidak begitu putih lagi. Busananya seperti busana setiap pengembara yang tidak akan membeli baju atau celana baru sebelum menjadi aus dan sungguh-sungguh tidak bisa dikenakan lagi, yang tidak harus berarti kotor dan menjijikkan karena dia membawa pakaian ganti dan dari waktu ke waktu selalu mencucinya.

Sepatunya dari kulit tetapi sudah sangat butut. Ia telah menempuh ratusan ribu li hanya dengan berjalan kaki saja, mencari lawan dari tempat yang satu ke tempat lainnya sejak muda untuk menguji dan meningkatkan keberdayaan ilmu pedangnya. Berapa tahunkah ia sudah mengembara? Jika ia keluar dari perguruan pada usia 20 tahun, dan kini usianya 60 tahun, maka itu berarti sudah 40 tahun ia mengembara mencari lawan yang bisa mengalahkannya. Ia bisa berhenti pada usia 40 dan mendirikan perguruan. Saat itu berarti sudah 20 tahun ia tidak terkalahkan, dan itu akan mengundang banyak murid untuk mengukuhkan perguruan, tetapi ia tidak melakukannya.

Kupungut sepasang pedangnya dan kuamati. Sepasang pedang jian itu menunjukkan jejak pertarungan yang sangat keras dan sangat panjang. Berdasarkan tanda-tandanya tampak jejak ribuan perbenturan dengan senjata lawan yang juga menunjukkan betapa pe­miliknya selalu berada di ambang maut.

Kuletakkan kembali sepasang pedang itu di kiri dan kanan tubuhnya. Kudengar langkah-langkah kaki sejumlah orang di balik kelokan. Aku berkelebat pergi. Siapa pun itu, biarlah mereka yang menguburnya. (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 2:15 PM
#311 63: Pengembaraan Mencari Kematian 4.5 5 Unknown May 10, 2015 Pertarungan dunia persilatan di jalanan orang awam di kota besar akan menjadi pertarungan tersulit ketika banyak orang berlalu lalang, karena bagi pendekar yang bertarung jatuhnya korban akibat sabetan pedang jian salah sasaran wajib dihindarkan. PERTARUNGAN dunia persilatan di jalanan orang awam di kota besar akan menjadi pertarungan tersulit ketika banyak orang berlalu lalang, karen...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak