Sampai sekarang pun belum dapat, bahkan sekadar untuk menduganya, siapa mereka berdua itu. Pernah kuduga dia adalah anggota Partai Pengemis, tetapi kukira pernyataannya sendiri tadi sudah menggugurkannya. Kukira memang benar dia bukan sembarang pengemis, dalam arti bukan pengemis yang menjadi pengemis karena tersingkir dari khalayaknya. Juga bukan bagian dari para pengemis yang tergabung dalam Partai Pengemis, yang hanya seperti meminjam cara-cara kehidupan pengemis dan mengatasnamakan pengemis padahal selalu mampu minum arak di mana pun mereka berada.
Suara keramaian masih saja terdengar di kejauhan, tetapi seperti menegaskan kekosongan pojok ini.
"Sedekah apakah kiranya yang mampu daku berikan kepadamu, wahai pengemis sakti," kataku, "tidakkah dikau sudah begitu kaya dengan kelebihan sehingga tidak perlu apa pun lagi?"
Sanxian-nya masih berbunyi, dalam pendengaranku sungguh-sungguh indah sekali.
"Ah, siapakah yang bisa begitu penuh kelebihan seperti Pendekar Tanpa Nama? Namun jika dikau begitu merendah, kita bisa saling bertukar saja," katanya, ''Kuberikan dikau sesuatu, dan sebagai gantinya berikanlah daku sesuatu."
Kuingat lagi cerita Yan Zi bahwa setelah dilemparkannya uang setail perak, pengemis ini segera memberikan keterangan tentang agama Harimau Perang. Apakah yang akan disampaikannya sekarang?
Aku mencari-cari uang tail di balik baju. Namun pengemis itu berkata lagi.
"Sedekahilah daku sebuah jurus, nanti kupersembahkan kepada dikau sebuah jurus pula."
Aku terhenyak, meskipun hanya satu jurus, ini seperti sebuah tantangan bertarung. Dalam dunia persilatan, mengajarkan jurus, meski hanya satu jurus, kepada siapa pun di luar perguruan, adalah suatu pengkhianatan. Justru melalui pertarunganlah seorang pendekar dapat mempelajari jurus-jurus lawannya dengan sah. Itulah saat ketika pendekar yang satu akan berkata pendekar lainnya, "Daku sangat berterima kasih jika bisa mendapat sedikit pelajaran."
Sang Buddha berkata:
jangan percaya apa pun
karena seorang bijak mengatakannya 1
Bunyi sanxian itu mendadak berhenti. Ia berkelebat. Aku berkelebat. Dalam sekejap kami berdua sudah menjadi gulungan cahaya yang sebentar terlihat dan sebentar menghilang. Ilmu silat pengemis sakti ini sangat tinggi, tetapi tidak satu pun manusia di dunia persilatan mengetahui namanya. Sangat mungkin ia tidak pernah bertarung, karena dengan ilmu setinggi itu suatu pertarungan memang tidak akan pernah terjadi. Kami bahkan tidak pernah sempat bersentuhan, karena kecepatan tertinggi selalu tertandingi oleh kecepatan yang lebih tinggi lagi, dan hanya satu sentuhan telah dengan segera menyelesaikannya.
Tubuhnya berputar dan jatuh, tengkurap menimpa sanxian yang sempat berbunyi sebentar, tetapi lantas terdiam untuk selama-lamanya karena tiga dawainya terputus.
Untuk sejenak aku berdiri mematung dan tercenung. Sudah berapa kali diriku lolos dari lubang jarum dan terlontar dari lubang jarum yang satu ke lubang jarum yang lain. Dunia persilatan menjadi tempat para pendekar mencari kematian terindah, dalam pertarungan yang dengan cara bagaimanapun adalah berdarah.
Namun aku segera mendekati dan membalikkan tubuhnya. Ia masih bernapas, dengan setitik darah di sudut mulutnya. Ia sudah cukup berumur, rambutnya berwarna perak, tetapi tubuhnya tampak muda. Betapapun aku membunuh seorang tua. Patutkah semua kematian ini, meskipun atas nama pendakian menuju puncak kesempurnaan di dalam dunia?
Wajahnya tersenyum ramah, bahkan menunjukkan kepuasan. Apakah aku pun harus bersyukur karena telah menjadi jalan menuju kepuasannya itu? Dalam dunia persilatan masalahnya bisa juga lebih sederhana, yakni sekadar membunuh atau dibunuh...
"Hadapilah," katanya, dengan mata yang menatap tajam.
Aku tentu tampak tidak mengerti.
"Para padri pengawal Muhu dan para pembunuh Kalakuta..."
Aku hanya bisa memberi tanda betapa diriku telah mendengarnya. Ia menutup mata dan pergi. (bersambung)
1 Raymond van Over, Eastern Mysticism. Volume One: The Near East and India (1977), h. 199.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak