Ia meminta sebuah pertarungan satu lawan satu sebagai ganti cerita yang akan disampaikannya kepadaku.
Jika permintaan ini tidak dituruti, kami akan menjadi bahan perbincangan di setiap kedai dengan nada mencibir. Maka pertarungan itu harus terjadi. Sekarang aku tahu bagaimana ia menjadi licin!
"Dikau tidak berpikir akan bebas bukan? Bagi kami dikau harus mati hari ini, dan tiada lain selain mati. Apa katamu?"
"Pendekar Tanpa Nama, daku pun orang dunia persilatan, daku juga ingin mati sebagai pendekar, dan pertarungan ini adalah ganti untuk cerita itu. Tiada hubungan dengan hidup dan matiku. Menang atau kalah diriku dalam pertarungan itu, daku siap untuk kalian hukum."
Aku mengernyit, tampaknya adil.
"Dakulah yang akan menghadapimu nanti, Harimau Perang," kataku, ''sekarang ceritakanlah apa yang mau dikau ceritakan itu."
"Tunggu!" Itu suara Panah Wangi, yang bersama itu juga melesat mendekat.
"Dakulah yang akan menghadapinya nanti, Pendekar Tanpa Nama," ujarnya
Aku baru akan menyanggahnya, ketika Panah Wangi melanjutkan.
"Mengapa kami semua tidak dikau ajak bicara lebih dahulu? Tapi di antara kita semua, kukira dakulah yang paling dalam merasakan penderitaan akibat kejahatannya. Kaum Muhu terderitakan oleh terbunuhnya dua padri mereka dengan tiada semena-mena, dikau terderitakan oleh terbunuhnya Panglima Amrita, tetapi daku tidak hanya terderitakan oleh terbunuhnya kekasihku Panah Sakti, melainkan diriku pun hampir berhasil diperkosa olehnya, yang jika bukan karena pertolongan Panah Sakti, tidak dapat kubayangkan bagaimana daku menjalani hidup selanjutnya. Biarlah daku yang bertarung melawannya!"
Kata-katanya benar belaka, di antara kami semua adalah Panah Wangi yang memiliki alasan terkuat untuk bertarung dan membinasakan Harimau Perang dengan tangannya sendiri. Namun Harimau Perang bukan cacing dan bukan pula semut yang terlalu mudah dibunuh, sebaliknya dalam keadaannya sekarang pun masih akan mampu bertarung dan melenyapkan jiwa lawannya. Apakah ini juga telah diperhitungkan oleh Harimau Perang?
Demi kekhawatiranku atas keselamatan Panah Wangi, aku rela membatalkan perjanjian dan kehilangan kesempatan menguak kabut kematian Amrita, tetapi dalam dunia persilatan apa yang sudah disepakati tidak dapat ditarik kembali. Maka Harimau Perang akan mengungkapkan apa yang terjadi di Thang-long waktu itu dan bertarung melawan Panah Wangi. Setelah itu, menang atau kalah, Harimau Perang dihukum mati oleh para padri pengawal Muhu.
Kong Fuzi berkata:
orang-orang muda mestinya jadi anak baik-baik di rumah,
sopan dan bermartabat di antara khalayak;
mereka harus hati-hati dalam tingkah laku,
dan setia, mencintai sesama, serta menghubungkan
diri mereka sendiri dengan orang-orang baik.
jika setelah mempelajari semua ini,
masih tersisa tenaga, biarlah mereka membaca kitab-kitab 1
Demikianlah Harimau Perang sebagai kepala gabungan mata-mata pasukan pemberontak di Daerah Perlindungan An Nam, telah bertemu Amrita sebagai panglima pasukan pemberontak, untuk membicarakan perkembangan pertempuran. Dalam perbincangan itu Harimau Perang menyampaikan, betapa rawan ketahanan pasukan pemberontak itu, bukan dalam pertempuran, melainkan dalam menghadapi penyuapan, karena para pemimpin pasukan disebutnya silau terhadap kilau uang tail emas.
Amrita meyakinkan Harimau Perang bahwa para pemimpin pasukan pemberontak kebal akan suap macam apa pun, seperti telah terbukti dalam perjuangan bersama selama berbulan-bulan yang berat di dalam hutan. Mereka pun berdebat dan keyakinan Amrita menjengkelkan Harimau Perang, bahkan pada gilirannya menimbulkan rasa dengki. Alih-alih sekadar mencari bukti, Harimau Perang memperjuangkan pembuktian yang sebaliknya, yakni menyuap, merayu, mempengaruhi, dan barangkali menipu juga, terhadap para pemimpin pasukan pemberontak, hanya untuk mengalahkan keyakinan Amrita.
Maka Harimau Perang yang dengan kemampuannya dalam tugas rahasia seharusnya mencegah, menangkap, dan memusnahkan daya-daya pelemahan pasukan, sebaliknya justru menggunakan dirinya sendiri untuk memberdayakan pelemahan-pelemahan itu. Harimau Perang kemudian juga ternyata menjual kedudukan seperti ini kepada pihak lawan!
Adapun yang terjadi kemudian, para pemimpin pasukan pemberontak ini bukan saja tidak mendapat apa pun, tidak tail emas, tidak pula apa pun yang dijanjikan, karena mereka semua tergiring dan terjebak menuju ladang pembantaian! (bersambung)
1. Lin Yutang, The Wisdom of Confucius (1938), h. 204.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak