Dulu itu pun diriku tidak bisa mengerti betapa pasukan pemberontak gabungan yang terdiri atas orang-orang tangguh, dan oleh Amrita dilatih seperti tentara, dengan pengalaman tempur dalam berbagai medan berat, mengapa bisa didesak dan dihancurkan dengan begitu cepat ketika selalu unggul di berbagai medan berbulan-bulan sebelumnya.
Memang segala keunggulan berkat jasa kerja mata-mata yang dipimpin oleh Harimau Perang, tetapi ternyata adalah Harimau Perang pula yang telah menghancurkannya. Aku tidak pernah bisa mengerti bagaimana seseorang bisa menghancurkan segala sesuatu yang dengan susah payah telah dibangunnya sendiri. Betapapun kini aku menemukan kata kunci dan itulah yang disebut keberpihakan. Harimau Perang tidak pernah berpihak kepada pihak mana pun selain dirinya sendiri. Apa yang bagi seseorang merupakan pilihan antara setia atau berkhianat, bagi Harimau Perang hanyalah berganti pihak, tanpa tujuan apa pun selain demi suatu petualangan.
Baginya lebih penting membuktikan kepada Amrita betapa dirinya benar, bahwa para pemimpin pemberontak bisa disuap, meskipun kemerdekaan suatu bangsa terjajah bukan hanya tertunda, melainkan jatuh pula beribu-ribu korban.
Adapun yang menjadikan Harimau Perang sebagai penjahat besar adalah tindakannya yang sungguh berdaya untuk mengubah para pemimpin pemberontak menjadi pengkhianat, dan baginya ini bukanlah keberpihakan kepada pihak mana pun selain sebuah petualangan. Untuk itulah kukira dia layak dihukum mati.
"Bagaimana dengan Amrita?"
Ia berhenti bicara, menghela napas panjang.
"Panglima Amrita itu, mengapa begitu sulit untuk percaya..."
Aku menunggu. Cukup lama Harimau Perang berhenti di sini. Apakah kiranya yang begitu mengganjal sehingga begitu sulit baginya untuk bercerita?
Sun Tzu berkata:
mereka yang mahir dalam seni perang
mengizinkan Jiwa Langit mengalir di dalam dan di luar diri mereka 1
"Sulit percaya bahwa kesetiaan macam apa pun bisa berubah menjadi pengkhianatan, sehingga perlu teman sendiri untuk membunuhnya agar ia bisa percaya," sambung Harimau Perang, ''tetapi baru hari ini daku mendengar bahwa ternyata ia mengakuinya, meski tetap menyalahkan diriku seorang sebagai sumber segenap kegagalan pasukan pemberontak itu."
Teman sendiri? Siapakah yang dimaksudnya itu?
"Harimau Perang, jadi bukanlah dirimu yang menusuk Amrita Vighnesvara dari belakang?"
"Pendekar Tanpa Nama, tidakkah jelas masalahnya bagimu bahwa jika daku yang membunuhnya tentu Panglima Amrita lebih sulit diyakinkan betapa teman seperjuangan bisa berbalik mengkhianatinya."
Aku tertegun. Kata-katanya tidak keliru.
"Daku sedang berada di hadapannya ketika itu," kata Harimau Perang lagi, "jadi dia pun tahu bukanlah diriku melainkan teman di belakangnya, yang seharusnya melindunginya, yang membunuhnya. Daku segera berkelebat ketika dirimu tiba, begitu juga dirinya. Janganlah bertanya siapa pembunuhnya, wahai Pendekar Tanpa Nama, karena betapapun adalah diriku yang membuatnya membunuh Panglima Amrita kekasihmu itu. Jadi dikau tetap bisa beranggapan dakulah pembunuhnya."
Sangatlah kuhargai cara Harimau Perang mengambil alih tanggung jawab pembunuhan Amrita, tetapi ini tidak mengurangi kemarahan dan tuntutanku kepada pembunuh Amrita yang menusuknya dari belakang itu. Sama seperti sikap Kaum Muhu terhadap Harimau Perang yang telah membunuh dua padri mereka dengan tiada semena-mena, untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, begitu pula sikapku terhadap pembunuh Amrita siapa pun orangnya. Ibarat kata ke mana pun dia pergi, ke mana pun kakinya melangkah, ke ujung dunia sekalipun, akan tetap kukejar.
"Itulah ceritaku," kata Harimau Perang, "apakah daku bisa mendapatkan pertarunganku sekarang?"
Panah Wangi sudah hampir beranjak, tetapi aku menahannya.
"Oh, tidak semudah itu Harimau Perang. Dikau harus tetap memberi tahu kami siapa yang telah membunuh Amrita."
Gerimis masih tetap saja, tidak mereda, tidak juga menderas.
Harimau Perang menadah gerimis itu dengan kedua tangan, lantas membasuh wajahnya.
"Apakah daku harus menyebutkan namanya?" (bersambung)
1. Sun Tzu, The Art of War, diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Stephen F. Kaufman (1996), h. 37.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak