#365 Wacananta

July 3, 2015   

MEGA-MEGA tersibak melingkar tepat di atas Kamulan Bhumisambhara pada tahun 794 Saka, ketika di Celah Kledung, lelaki 101 tahun yang disebut Pandyakira Tan Pangaran itu mengangkat alat tulis yang disebut tanah 1 dari lembaran karas 2, yang sejak lama dari saat ke saat telah ditulisinya. Dari aksara ke aksara, dari kata ke kata, dari kalimat ke kalimat, mengalir riwayat sejauh yang bisa diingatnya. Adegan demi adegan, peristiwa demi peristiwa, membentuk lorong waktu tempat segala sesuatu yang dirasakannya, suka maupun duka, seperti kembali sepenuhnya.

Ia menatap langit dan menghela napas panjang.

"Kitab Nagabumi ini masih jauh dari selesai...," desisnya.

Ia tidak tahu apakah kitab itu akan pernah selesai seperti yang dibayangkannya, karena waktu yang setiap saat bisa merenggutnya, bukan saja karena usianya yang berada pada tahun-tahun terakhir daya hidup manusia, tetapi juga karena terlalu banyak manusia yang ingin mengakhiri kehidupannya secara paksa.

Demikianlah, meski kematian sudi diterimanya, jika saat yang menentukan itu akhirnya akan tiba juga, pembunuhan tetap ditolaknya. Maka tahun-tahun terakhir hidupnya seakan-akan menjadi perlombaan kecepatan yang tiada kunjung usai, antara kecepatan maut merenggut jiwanya dan kecepatan dirinya mengingat, menggali, membongkar, dan menuliskan riwayat hidupnya sendiri demi suatu jawab atas pertanyaan: mengapa dirinya sebagai orang yang teramat tua harus ditangkap hidup-hidup ataupun mati.

Tiada akan terlalu lama Pandyakira Tan Pangaran yang tua itu bisa menghela napas, lantas menghembuskannya, karena memang harus segera kembali kepada tanah dan karasnya, kembali ke dalam ketekunan sepanjang siang dan malam, dari aksara demi aksara, menguak makna peristiwa demi peristiwa, untuk memecahkan selubung rahasia di ujung hidupnya, selalu dalam ancaman bayangan-bayangan berkelebat yang bermaksud membunuhnya.

Mega-mega masih menyibak berombak-ombak membentuk lingkaran putih pada piringan langit biru di atas Kamulan Bhumisambhara, seolah-olah puncak stupa itu telah menudingnya dengan suatu pancaran daya, yang tidak cukup hanya menyibak awan menjadi lingkaran, tetapi meluncur terus tegak lurus menembus tabir-tabir angkasa menuju ruang semesta raya.

Bumi masih juga berputar dan beredar. Para penguasa Wangsa Sailendra naik dan turun silih berganti, sejak Bhanu, Wisnu atau Dharmatungga, Indra atau Samaratungga yang menikah dengan Tara, Pramodawardhani atau Sri Kahulunan yang menikah dengan Pikatan, maupun Balaputra yang kalah perang dengan Pikatan itu. Mereka semua sudah lenyap dan tinggal nama dalam prasasti 3. Wangsa Sailendra tiada lagi.

Tidak ada yang mengetahui apakah kiranya isi benak Rakai Kayuwangi yang sudah 17 tahun bertahta, dan tampaknya untuk waktu yang lama belum akan memiliki penantang atas kekuasaannya 4, tetapi Kerajaan Mataram tidaklah begitu terpencil seperti tampaknya.

Kapal-kapal Srivijaya yang berlabuh di pantai utara Javadvipa hampir selalu menurunkan para pengembara, apakah itu bhiksu-pengembara dari Negeri Atap Langit, pendeta-pengembara dari Jambudvipa, pedagang-pengembara maupun kaum pelarian yang lebih beragam lagi asalnya, Lanka, An Nam, Campa, dan Persia, yang akan membawa warta dan pengetahuan dari negeri-negeri yang jauh.

Sebagian dari mereka akan melanjutkan perjalanannya dengan menyusuri sungai sampai ke pedalaman, dan menyaksikan betapa di ujung selatan dunia ini terdapat juga bukan sekadar peradaban, ketika mengetahui terdapatnya pengungkapan budaya Siva-Buddha. Mereka mengenal Siva dan Mahayana sebagai keyakinan yang sungguh berbeda, dan mereka tercengang dengan kemungkinan betapa suatu bentuk kebudayaan dapat menjajarkan ungkapan, tanpa mengeruhkan keyakinannya.

Pada gilirannya kapal-kapal Srivijaya itu juga akan membawa warga Mataram yang bersemangat tinggi meninggalkan Javadvipa untuk mengembara. Seperti juga yang telah dialami Pandyakira Tan Pangaran atau Pendekar Tanpa Nama pada masa mudanya, mereka juga akan takjub dengan segala pesona yang dilahirkan keberagaman budaya berbagai bangsa, dan sadar betapa tiada berguna bahkan berbahaya pikiran yang sebaliknya bagi dunia.

Demikianlah, seperti doa semesta bagi manusia, sementara kapal-kapal Srivijaya membelah gelombang di perairan antara Samudradvipa dan Tanah Kambuja di bawah bulan purnama, dan kafilah-kafilah unta yang mengarungi Jalur Sutera dari Chang'an setelah berminggu-minggu masih melangkah di padang pasir menuju Samarkand, pancaran daya dari puncak stupa Kamulan Bhumisambhara itu berubah menjadi cahaya. Terpancar tegak lurus menembus langit, semburat memenuhi ruang semesta...

Hanya yang berhati bersih bisa melihatnya.


(Episode "Naga Jawa" selesai)

1. Semacam pensil yang dapat dipertajam dengan kuku dan yang dapat dibuang setelah menjadi patah atau setelah mengecil, tinggal sepuntung saja. Tengok P. J. Zoemulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang [1983 (1974)], h. 158.

2. Papan dari bambu yang dibelah atau dipukul sehingga menjadi ceper. Ibid., h. 160.

3. Tengok tabel para penguasa Dinasti Sailendra di Jawa antara tahun 754-856 dalam Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa: Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno (2002), h. 525.

4. Rakai Kayuwangi atau Lokapala akan berkuasa selama 30 tahun (855-885), yang terlama di antara para penguasa Mataram semasa klasik (732-928). Tabel dalam ibid., h. 65.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 9:12 PM
#365 Wacananta 4.5 5 Unknown July 3, 2015 Mega-mega tersibak melingkar tepat di atas Kamulan Bhumisambhara pada tahun 794 Saka, ketika di Celah Kledung, lelaki 101 tahun yang disebut Pandyakira Tan Pangaran itu mengangkat alat tulis yang disebut tanah dari lembaran karas, yang sejak lama dari saat ke saat telah ditulisinya. MEGA-MEGA tersibak melingkar tepat di atas Kamulan Bhumisambhara pada tahun 794 Saka, ketika di Celah Kledung, lelaki 101 tahun yang disebut...


Next
This is the current newest page

7 comments:

  1. Tamat ya, padahal kurang puas bacanya :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, akan jd romantis sekali seandainya Pendekar Tanpa Nama akhirnya menikah dg Panah Wangi, lalu pulang ke Jawa...pasti seru, bs jadi sekuel nantinya.

      Delete
  2. Kirain episode perburuan pembohong Amrita di mulai.
    Apakah ada lanjutan Nagajawa?

    ReplyDelete
  3. Tampaknya, om Seno Gumira Ajidarma sedang ingin rehat sejenak :-D

    ReplyDelete
  4. Trus yg mbunuh Amrita siapa? Adakah kelanjutannya?

    ReplyDelete
  5. akhirnya senja telah menjadi gelap, kapan fajar akan muncul kembali.
    kami menunggu kabar kelanjutannya Om SDA

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar dengan bijak