#13 Kuil-Kuil yang Dihancurkan

July 13, 2014   

SELEPAS dari pertemuan di dalam gua yang merupakan pusat pergerakan rahasia pasukan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang, ketiga pengembara itu melanjutkan perjalanannya di sepanjang tepi Sungai Yangzi.

Mereka telah mendengar tentang terdapatnya kuil-kuil Buddha yang hancur di sepanjang tepi sungai, dan mereka kemudian mendengar pula betapa gubuk-gubuk telah didirikan untuk menggantikannya, tetapi masih terus dihancurkan pula. Apakah yang menjadi masalahnya?

Perihal keberadaan agama-agama di Negeri Atap Langit pada masa itu, Pendekar Tanpa Nama dalam Kitab Nagabumi mencatat:

Aku tercenung karena juga telah mendengar bagaimana Pemberontakan An-Shi telah mengakibatkan bencana kepada agama Buddha di Negeri Atap Langit. Pemerintah yang terpaksa meningkatkan pendapatan dengan cepat, mengizinkan penahbisan yang tak dibatasi bagi siapa pun yang bersedia membayar harga resmi. Adapun karena para bhiksu dibebaskan dari pajak, ini menghilangkan pendapatan negara di masa depan, tetapi bagi perkembangan Buddha, akibat yang lebih besar adalah penurunan mutu para bhiksu itu. Pemberontakan itu sendiri membawa penghancuran atas banyak kuil dan hilangnya banyak sekali kumpulan naskah, yang sangat berpengaruh, untuk tidak mengatakannya merusak dan mengacaukan, pengajaran filsafatnya. Di sisi lain, Buddha aliran Tanah Murni diterima banyak orang dan untuk pertama kalinya diakui istana.

Setelah pemberontakan, agama Buddha semula menerima perlindungan istana yang lebih baik. Maharaja Daizong dulu percaya bahwa Wangsa Tang berutang atas keselamatannya kepada agama Buddha dan mendukung pembangunan banyak kuil dan meresmikan penahbisan ribuan bhiksu. Ia memamerkan kesalehan pribadinya dengan memuja peninggalan Buddha dan mendukung perjamuan masakan bukan daging bagi para pejabat agama Buddha. Penerusnya, Maharaja Dezong lebih berhati-hati dalam dukungannya, melihatnya dengan keberpihakan kepada perencanaan yang akan mengurangi beban biaya yang tertimpakan agama Buddha kepada negara. Betapapun ia juga menjadi pelindung besar kuil-kuil keagamaan maupun pembelajaran Buddha.

Sejak lama pertumbuhan Buddha menjadi sasaran pengecaman oleh musuh-musuhnya. Pada 621, seorang pendeta Dao bernama Fu Yi berujar bahwa khalayak di sekitar kuil merupakan beban yang merugikan negara. Ia menganjurkan kepada maharaja untuk membubarkan kependetaan Buddha, yang juga berarti menghapus dan mengingkari keberadaan para bhiksu, dan menggunakan bangunan kuil-kuil Buddha untuk sesuatu yang lebih berguna. Di bawah Dezong terdapatlah Peng Yan, seorang pejabat penganut Kong Fuzi pada Badan Pencatatan, yang memberitahu maharaja agar menghapus penyalahgunaan wewenang di dalam pengajaran agama Buddha, sambil menyebutkan pengabaian para bhiksu dan kerugian dalam pendapatan pajak. Ia memperkirakan biaya tahunan untuk makanan dan pakaian, yang harus disediakan negara bagi para bhiksu sama dengan pajak yang dibayarkan lima lelaki dewasa1.

Demikianlah harus kuketahui tentu, manakala kami kini berjalan menyusuri tepian Sungai Yangzi untuk mencari kuil-kuil Buddha Mahayana pada 797, bahwa para penganut Buddha ini sedang mengalami tekanan, sebagai keyakinan yang tidak tumbuh dari bumi Negeri Atap Langit seperti filsafat Kong Fuzi yang ajarannya berlaku dan dihayati sebagai agama, maupun pemikiran Dao yang telah tumbuh dan berkembang dalam tiga tahap selama ratusan tahun sehingga memang semakin sempurna, tetapi dari Jambhudvipa, tempat Siddharta Gautama dilahirkan. Kuingat kembali kisah perjalanan bhiksu Xuanzang yang mengharukan, dalam perjalanan mengharubiru lebih dari tigaratus ratus lalu, untuk mengambil naskah-naskah sutra yang sesuai dengan aslinya, langsung ke Jambhudvipa.

Mengingat segala cerita tentang Xuanzang, yang kemudian menerjemahkan segenap hasil penemuannya ke bahasa Negeri Atap Langit, dan menyelamatkan ajaran Buddha yang justru terdesak sampai hampir musnah di Jambhudvipa, yang sejak lama memang dikuasai agama Hindu, aku merasa seperti ingin menjejaki kembali langkah-langkah dalam perjalanannya. Namun aku pun menyadari, betapa sekarang ini keinginan tersebut hanyalah merupakan lamunan yang kosong, mengingat segala kewajiban yang telah kusepakati dan sebenarnyalah masih jauh dari penyelesaian.

Dalam suasana semacam itulah mereka mencari guru terbaik di sepanjang tepian Sungai Yangzi, bukan karena ingin menganut agama yang diajarkan, melainkan untuk menambah pengetahuan, sebagaimana seorang pendekar seharusnya melengkapi diri. Seorang pendekar tanpa pengetahuan di luar ilmu silat secukupnya, demikian ajaran Sepasang Naga dari Celah Kledung kepada asuhannya yang tak bernama itu, hanya akan menjadi alat yang juga berarti menjadi korban, dalam permainan kekuasaan. (bersambung)


1 J.A.G. Roberts, A History of China (2006), mengutip E.Zurcher, "Perspectives in the study of Chinese Buddhism" dalam Journal of the Royal Asiatic Society, 1982, bagian 2, h. 161-76., h. 73.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 2:52 PM
#13 Kuil-Kuil yang Dihancurkan 4.5 5 Unknown July 13, 2014 Kuil-Kuil yang Dihancurkan - (Seri 13) dari Cerbung (Cerita Bersambung) Naga Jawa di Negeri Atap Langit Karya Seno Gumira Ajidarma SELEPAS dari pertemuan di dalam gua yang merupakan pusat pergerakan rahasia pasukan Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang, ketiga pengembara itu m...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak