#14 1: Mendekati Chang'an

July 14, 2014   

Mereka temukan seorang guru agama yang sudah tua, yang oleh orang-orang awam tak paham persilatan maupun agama disebut sebagai orang tua agak gila, yang sementara berbicara dengan bersila di sebuah pondok sambil menjelaskan ujaran-ujaran Sang Nagasena, di hadapan pendengarnya dapat berkelebat tanpa disadari mereka yang menatapnya, untuk membantai para penyusup yang mengintai tanpa dapat diketahui maksudnya.

Namun mereka bertiga segera menemukan pula, betapa mayat para penyusup itu hilang lenyap tanpa diketahui sang guru tua. Inikah penanda permusuhan antar agama di kalangan rakyat jelata?

Saat itulah terdengar gemuruh pasukan berkuda, seperti yang selanjutnya dan sebaiknya diikuti langsung dari penuturan Pendekar Tanpa Nama:

Bagaikan air bah balatentara pasukan berkuda yang setidaknya berbilang ribuan menyapu tempat itu. Kami bertiga segera melenting ke atas, tetapi orang-orang yang sedang mendengarkan ujaran sang pembicara terlindas, tewas, dan meski ada yang bangkit dan berlari tetap saja terbantai tusukan tombak, sabetan kelewang, lecutan cambuk berduri, maupun gebukan gada yang menyambar dari belakangnya. Sejumlah orang bersembunyi di sekitar pondok bambu, tetapi pondok bambu itu segera menyala! Hmm. Api untuk memasak atau menghangatkan badan, kenapa sekarang harus digunakan untuk membakar rumah manusia? Masih berada di udara, Yan Zi telah menggerakkan Pedang Mata Cahaya, dan pasukan berkuda terkejam yang membakar pondok itu terjengkang dengan darah menyembur ke udara dalam tatapan para calon korbannya.

Namun balatentara yang melaju dan menggebu itu sama sekali belum habis dan justru baru mulai membantai! Elang Merah turun tepat pada saatnya untuk menangkis kelewang yang siap memenggal putus leher seseorang. Ilmu Pedang Cakar Elang dengan segera berbicara dan menunjukkan daya. Dalam waktu singkat limapuluh penunggang kuda di lima penjuru terjengkang dengan darah muncrat ke langit yang dalam cahaya bulan tak tampak merah melainkan kehitam-hitaman.

Sembari melayang turun dari udara, masih sempat kulihat semua, pasukan tempur dengan seragamnya yang perkasa, yang seolah jika turun hujan panah dari langit pun tiada satu yang dapat menembusnya. Busana tempur mereka, sejauh kuketahui dari Enam Peraturan Wangsa Tang yang kupelajari di Kuil Pengabdian Sejati, tergolong dalam busana tempur rantai yang bagian-bagiannya tersambung potongan kulit, sementara para perwiranya tampak mengenakan busana tempur yang terbuat dari sutera hitam, yang sebetulnya tidak untuk dikenakan dalam pertempuran. Di satu pihak seperti terdapat keadaan darurat, karena tidak sempat mengenakan busana tempur; di lain pihak, pasukan yang mengenakan busana tempur rantai pun bukanlah lazimnya pasukan berkuda, yang menurut peraturan berbahan kayu1.

Kata orang peraturan dibuat untuk dilanggar, tetapi apakah sebab kiranya sehingga suatu peraturan memang lebih baik dilanggar? Tidak ada hujan panah dari langit, tetapi kilatan Pedang Mata Cahaya yang berasal dari pantulan cahaya rembulan maupun cahaya api jauh lebih cepat, lebih berkemampuan mengincar, dan karena itu lebih tepat dan lebih berbahaya daripada anak panah yang turun dari langit. Cahaya pantulan yang bagaikan bermata dari Pedang Mata Cahaya menyambar segala batang leher, sebagai bagian terlemah dari busana tempur pasukan berkuda Wangsa Tang ini. Sedangkan jika cahaya pantulan menimpa lapisan baju bak perisai itu, tetap saja cahaya yang akan mengeras dan tajam seperti pedang jian itu akan menembusnya pula.

Para penunggang kuda berjatuhan menimpa korban mereka sendiri dan pada gilirannya terinjak dan terlindas kaki-kaki kuda dalam pertarungan yang semakin menggila. Elang Merah dan Yan Zi berkelebat mencabut nyawa di segala penjuru, tetapi kecepatan mereka pun belum cukup untuk mengatasi pembantaian yang merajalela. Aku melenting-lenting di celah pertempuran berusaha menyelamatkan nyawa tersisa, tetapi orang-orang yang datang hanya untuk mendengarkan ujaran untuk menenangkan jiwa itu memang terlalu sedikit untuk masih bersisa dalam sapuan air bah pasukan berkuda ini. Kupentalkan sejumlah perwiranya dengan angin pukulan Telapak Darah, tetapi bersama ambruknya pondok yang terbakar itu maka tiada pula yang masih harus diselamatkan. (bersambung)


1 Zhou Xun & Gao Chunming, 5000 Years of Chinese Costumes (1987), h. 100.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:00 PM
#14 1: Mendekati Chang'an 4.5 5 Unknown July 14, 2014 1. Mendekati Chang'an - (Seri 14) dari Cerbung (Cerita Bersambung) Naga Jawa di Negeri Atap Langit Karya Seno Gumira Ajidarma Mereka temukan seorang guru agama yang sudah tua, yang oleh orang-orang awam tak paham persilatan maupun agama disebut sebagai orang tua aga...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak