#17 2: Satu Ranjang untuk Bertiga

July 17, 2014   

"JADI Puan dan Tuan tidak kami anggap sebagai lawan tempat kami harus melakukan suatu tindakan, meskipun banyak sudah prajurit kami telah menjadi korban," katanya lagi sambil mengangkat tangan dan membalikkan kudanya.

"Semoga kita dapat berjumpa lagi kelak di lain kesempatan," katanya sebelum menghilang di balik barisannya yang berlapis-lapis.

Dengan sangat teratur barisan ini dengan sangat cepat menipis dan menghilang. Di balik kekelaman kemudian terdengar derap ribuan kuda menjauh, dengan meninggalkan semacam sisa gempa, terasa sangat mengesankan bagi tiga manusia yang baru turun dari wilayah pegunungan.

***

Kami melanjutkan perjalanan dengan berkuda menyusuri tepi Sungai Yangzi, sambil masih terus mencari guru dan mengumpulkan keterangan yang sekiranya berguna bagi tujuan kami, yakni mencuri Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri dari Istana Chang'an. Meskipun Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang terikat perjanjian untuk memudahkan penyusupan, betapapun kami berpendapat semakin banyak yang kami ketahui semakin baiklah untuk keamanan. Meskipun begitu, pada dasarnya kami menghindari keadaan untuk menjadi pusat perhatian.

Semakin mendekati kotaraja, sebetulnya sudah semakin sulit menghindari manusia, tetapi banyaknya orang berlalu lalang ternyata baik untuk menghindari perhatian, meski kami pun tahu betapa sangat mungkin kami selalu berada dalam pengawasan. Bukankah dikatakan oleh Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang betapa pada saatnya kami akan mendapat pemberitahuan?

Menyadari keadaan seperti itu, kubebaskan diriku untuk tidak harus selalu tegang dalam kewaspadaan. Sepanjang tepi Sungai Yangzi kunikmati pemandangan selayaknya pelancong dalam perjalanan. Semakin menjauhi Tiga Ngarai Yangzi, berpapasan dengan orang-orang yang sebaliknya menuju ke arah itu, teringatlah aku kepada puisi Li Bai yang berjudul Mengucapkan Selamat Jalan Kepada Kawan yang Menuju Ngarai Yangzi:

Angin tidak bertiup,
cabang-cabang xiong tergantung rendah,
kita yang telah hidup bersama begitu lama mesti segera berpisah;
hari ini masing-masing menempuh jalannya sendiri,
kamu naik ke Ngarai
tempat akan kamu dengar monyet-monyet memanggil, dan
dari puncak-puncak gunung menyaksikan kejayaan munculnya rembulan;
dengan segenap hatiku aku minum untukmu;
kini saat hari-hari semakin dingin,
kuminta kepadamu perhatikanlah kesehatanmu.1

Tanpa terasa waktu berjalan sudah sebulan, dan setelah melewati wilayah Zhushan dan wilayah Xunyang, tibalah kami di kota kecil Shangluo. Dari sini tiada kota lain lagi sebelum mencapai Chang'an. Tanpa menarik perhatian kami memasuki sebuah penginapan dan bertanya apakah kiranya masih ada kamar.

"Tinggal satu kamar," kata pemilik penginapan itu sambil mengawasi, "kalau kalian bertiga masuk satu kamar itu harus dihitung sewa dua kamar."

"Kami semua bersaudara," kata Elang Merah, "kami biasa tidur sekamar dan dihitungnya tetap sewa satu kamar."

Pemilik penginapan itu memandang kami dengan wajah yang menyebalkan.

"Aku tidak peduli kalian bersaudara atau tidak," katanya," tetapi kamar ini disewakan paling banyak untuk dua orang, karena ada tambahan maka harganya kulipatkan."

"Bukankah seharusnya tambahan itu hanya setengah harga kamar karena tambahannya hanya satu orang?"

Sekali lagi diperlihatkannya wajah yang menyebalkan itu.

"Kalian orang asing, kenapa merasa lebih tahu aturan?"

Elang Merah tampak hendak mengatakan sesuatu, tetapi aku menggamit tangannya agar tidak berkata-kata lagi.

"Baiklah kami ambil kamar itu," kataku.

Jika ada sesuatu yang berada di luar kebiasaan, mereka yang bergerak dalam kerahasiaan lebih baik diam, dan hanya melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman. Yan Zi dengan cepat pula meletakkan uang empat tail perak. Dengan segera tangan pemilik penginapan meraupnya pula dan memberi tanda kepada seorang perempuan tua untuk menunjukkan kamar.

Pada saat berjalan di sepanjang lorong, dengan kamar serbakecil di kiri dan kanan lorong itulah kami mengerti, bahwa ini bukanlah sembarang penginapan. Meskipun hari masih terang, meskipun sudah malam, hampir dari setiap kamar itu dapat kami dengar suara-suara orang bercinta. Apakah ini tempat pelacuran? Meskipun aku adalah orang asing yang tidak mengenal sama sekali peradaban Negeri Atap Langit, aku mengira jika penginapan ini adalah rumah pelacuran tentu seti­daknya ada tanda yang menunjukkannya, seperti juga yang bahkan ditunjukkan oleh kota-kota yang jauh lebih kecil dari Shangluo dan Elang Merah tentu akan mengetahuinya. Aku memang tidak bisa mengandalkan Yan Zi, karena betapapun ia belum pernah turun gunung sama sekali. (bersambung)


1 Diterjemahkan dari Farewelling a Friend Going to the Yangtze Gorges dalam Rewi Alley, Li Bai: 200 Selected Poems (1980), h. 218.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 8:04 PM
#17 2: Satu Ranjang untuk Bertiga 4.5 5 Unknown July 17, 2014 2 : Satu Ranjang untuk Bertiga - (Seri 17) dari Cerbung (Cerita Bersambung) Naga Jawa di Negeri Atap Langit Karya Seno Gumira Ajidarma "JADI Puan dan Tuan tidak kami anggap sebagai lawan tempat kami harus melakukan suatu tindakan, meskipun banyak sudah prajurit kami tel...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak