#19 Dunia Persilatan Bagaikan Dongeng

July 19, 2014   

KAMI sedang melakukan perjalanan rahasia. Perempuan yang membawa pedang dan meninggalkannya di tempat pemandian tidakkah dengan sendirinya akan menarik perhatian? Jika di alam bebas, pegunungan, padang rumput, dan permukiman terpencil pendekar yang membawa senjata adalah suatu kenyataan; dalam peradaban kota dunia persilatan bagaikan suatu dongeng. Jika mereka meletakkan pedang dan membuka baju di hadapan semua perempuan, tentu perempuan-perempuan itu tidak akan tinggal diam, mereka akan mendekat, mengerumuni keduanya dan bertanya-tanya apakah mereka pernah membunuh orang dengan pedang itu - dan tidak akan pernah diketahui apakah di antara perempuan-perempuan itu tidak terdapat mata-mata, baik mata-mata Yang Mulia Tuanku Bayang-Bayang maupun mata-mata kerajaan!

Kedua perempuan itu saling berpandangan kembali. Yan Zi menundukkan kepala seperti anak kecil. Hampir bersamaan keduanya melemparkan pedang ke atas ranjang dan segera menghilang.

Kurebahkan tubuhku di ranjang itu juga sambil menghela napas panjang.

***

Kurasa aku telah tertidur. Waktu terbangun tidak kudengar lagi suara - suara orang bercinta. Hari telah rembang petang. Jadi ini tentunya bukan rumah pelacuran, tetapi barangkali tempat siapa pun yang membutuhkan tempat untuk melakukan hubungan di luar perkawinan. Jika tidak salah, tadi bahkan seorang bhiksu pun tampaknya kulihat memasuki salah satu kamar bersama seorang perempuan - meski untuk ini aku harus lebih hati-hati menghakimi. Keistimewaan yang diberikan Wangsa Tang kepada jalan keyakinan Buddha telah menimbulkan kecemburuan dan kebencian para penganut Kong Fuzi maupun Kaum Dao 1, yang membuat cerita ejekan tentang bhiksu dengan nafsu birahinya atas perempuan tersebar dari kedai ke kedai. Aku tidak akan terlalu heran jika untuk meyakinkan banyak orang bahwa cerita ini benar, maka ada kalanya harus diperlihatkan seseorang berjubah bhiksu melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Buddha, seperti mabuk arak, makan daging, dan melakukan persanggamaan. Sama seperti disebarkannya kesalahpahaman atas Tantrayana sebagai bukti kesesatan Buddha.

Tidak terdengar suara apa pun di penginapan ini, meski di luar sana suasananya terdengar meriah. Aku belum terbiasa dengan suara-suara peradaban. Sudah terlalu lama mengembara naik turun gunung keluar masuk hutan menyebabkan kepalaku sakit mendengarkan suara-suara kota. Tidak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi denganku memasuki kota dunia seperti Chang'an nanti, yang menurut Elang Merah disebut sebagai Kota Sejuta Manusia. Bahkan dibanding kota kecil Shangluo ini pun kotaraja di Javadvipa bagaikan sebuah desa gelap gulita, maka kiranya memang harus kubiasakan diriku terlebih dahulu menghayati peradaban yang bagiku baru, sebelum menjalankan tugas mustahil, yakni mengambil Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri dari dalam istana Chang'an.

Namun kini di manakah Yan Zi dan Elang Merah? Jika mereka memang pergi mandi, seharusnya mereka telah kembali. Kedua pedang itu masih di tempatnya. Kalau aku pergi mencarinya, jelas kedua pedang itu harus kubawa. Membawa dua pedang di sebuah kota yang sedang menggelar bisai barangkali akan tampak biasa, tetapi jika kedua pedang ini salah satu saja dikenali mata para penyoren pedang yang setajam elang, berarti perjalanan rahasia ini diketahui semua orang. Aku belum tahu apa yang harus kulakukan, ketika kudengar suara langkah tergopoh-gopoh mendekati kamar ini. Segera muncul wajah pemilik penginapan yang tadi menyebalkan itu, tetapi yang kini wajahnya memperlihatkan kecemasan yang amat sangat.

"Tuan! Tuan! Cepat Tuan! Cepat!"

"Ada apa?"

"Kedua kawan sekamar Tuan... Di depan..."

Sebenarnya masih ada lagi yang dikatakannya, tetapi pemahaman bahasaku hanya itulah yang bisa kuingat. Ada apa lagi dengan kedua kawanku ini?

Aku segera beranjak, tak lupa membawa kedua pedang. Kewaspadaanku memang meningkat cepat. Semenjak mereka berhasil dikuasai Mahaguru Kupu-kupu waktu itu, aku merasa memang harus lebih memperhatikan keselamatan keduanya tanpa diminta, meskipun ilmu silat keduanya tidak kuragukan lagi. Bukan ilmu silat mana pun yang kutakutkan akan mencelakakan mereka, melainkan akal licik tipu daya perkotaan yang tiada terduga. Memang benar Elang Merah pada dasarnya seorang mata-mata, tetapi yang lebih berkepentingan dengan gerak pasukan di perbatasan dalam pengamatan daripada melakukan penyamaran terpendam. Lagipula semenjak bersumpah mengikuti ke mana pun diriku melangkah, tampaknya telah melepaskan segenap kepentingan. (bersambung)


1 Tentang perongrongan terhadap Buddha Mahayana oleh Daois dan pengikut Kong Fuzi semasa Dinasti Tang, tengok J. A. G. Roberts, A History of China (2006), h. 71-75. Baca misalnya: "Pertumbuhan kuil-kuil Buddha sudah lama menjadi subjek kritik lawan-lawannya. Pada 621, pendeta Daois Fu Yi menyatakan bahwa komunitas kuil merupakan beban bagi negara. Ia menganjurkan agar maharaja melepaskan kependetaan Buddhis dan memanfaatkan kuil-kuil secara lebih baik. Di bawah Dezong, seorang pejabat Konfusian dalam Biro Pencatatan bernama Peng Yan mengatakan bahwa maharaja harus menghapus penyiksaan di dalam kuil Buddha, mengutip pengabaian para pendeta, dan hilangnya setoran pajak. Ia memperkirakan beaya tahunan subsidi seorang bhiksu dengan makanan dan pakaian setara dengan pajak yang dibayarkan lima pria dewasa.", h. 73.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 5:36 PM
#19 Dunia Persilatan Bagaikan Dongeng 4.5 5 Unknown July 19, 2014 Dunia Persilatan Bagaikan Dongeng - (Seri 19) dari Cerbung (Cerita Bersambung) Naga Jawa di Negeri Atap Langit Karya Seno Gumira Ajidarma KAMI sedang melakukan perjalanan rahasia. Perempuan yang membawa pedang dan meninggalkannya di tempat pemandian tidakkah dengan sendirinya a...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak