#45 Salam dari Naga Hitam

August 16, 2014   

Mendadak saja kota yang megah dan meriah ini bagiku serasa menjadi kota yang gelap, muram, dan berbau apak. Betapapun kemudian akan kuketahui betapa pemerintah tetap menyediakan sejumlah besar dana untuk merawat orang-orang yang disebut gelandangan itu. Bahwa di antara para gelandangan hanya terdapat orang-orang yang menjadi gelandangan karena malas bekerja, atau para anggota Partai Pengemis yang selalu tampak ingin menjadi lebih pengemis daripada yang paling pengemis, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, karena tanpa menjadi bagian dari dunia gelandangan itu sendiri mereka semua hanyalah tampak sama saja, begitu sama, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih sama...

"Peristiwa penggiringan para gelandangan itu terjadi tahun 734, empat tahun kemudian Maharaja Xuanzong menggunakan pajak dari ladang-ladang yang baru dibuka untuk menolong orang-orang miskin dan rakyat jelata yang kembali ke tanah mereka setelah melarikan diri. Namun langkah kesejahteraan ini tak berlanjut setelah Pemberontakan An-Shi sekitar 18 tahun kemudian.1 Hhhh..."

Pedagang keliling yang bersamanya aku berbagi makan bakpao sambil memandang perahu-perahu di kanal itu berbicara seperti sambil lalu saja, tetapi justru karena itu aku menjadi berpikir keras. Segala ceritanya tanpa disengaja telah memberikan latar belakang sejarah yang lebih baik bagiku dalam memahami Chang'an, yang betapapun mengagumkannya dalam segala usaha tata pemerintahan, sebetulnya terus-menerus sedang berada dalam masa kemerosotannya setelah Pemberontakan An-Shi.

Kekacauan dalam tata pemerintahan berarti kekacauan pula dalam tata keamanan. Meskipun belum pasti, aku seperti melihat cahaya terang di ujung terowongan, dalam kegelapan usaha mencari kejelasan perihal keberadaan Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri di Istana Daming.

Saat itulah, setelah berpisah dengan si pedagang keliling, perasaanku berkata bahwa aku sedang diawasi seseorang!

Sesosok bayangan berkelebat. Aku pun berkelebat!

***

Dalam secepat kilat kami telah bertukar seratus pukulan. Tak satu pun di antaranya berhasil mengenai tubuh kami masing-masing. Artinya setiap pukulannya dapat kutangkis, tetapi pukulanku pun dapat ditangkisnya. Namun pada pukulan ke-101, pukulan Telapak Darah mengenai dadanya. Ia terpental muntah darah, tetapi setelah bergulingan di tanah, segera melenting ke udara dan turun lagi sudah me­megang pedang, yang teracung tegak lurus langsung menuju jantungku!

Kini diriku dikepung cahaya seribu pedang. Dapat kurasakan betapa tajamnya pedang tipis yang begitu lenturnya itu, yang menyambar-nyambar tanpa memberi peluang sama sekali bahkan untuk bernapas, sehingga jika lengah dalam sekejap mata saja akan membuat lenganku hilang, kepalaku menggelinding, dan isi perutku berceceran di jalanan. Maka aku pun meningkatkan kecepatanku, bergerak lebih cepat dari cepat, tetapi yang kemudian ternyata diikuti pula oleh lawanku yang bergerak tak kalah cepat, selincah belut, semulus sutra, dan secepat pikiran.

Aku tidak mengendorkan seranganku. Kugelar Jurus Naga Mengibaskan Ekor dengan Genit, yang memang ampuh untuk mengatasi tekanan lawan pada saat yang rawan. Dengan segera ia dapat kudesak ke tepi kanal, bahkan ia seperti berusaha melompat ke air, dan tetap kukejar sehingga kami pun melanjutkan pertarungan di atas air. Di tengah ribuan pertukaran pukulan, yang saling tertangkis maupun saling luput, meski siang terang benderang, aku tetap belum berhasil melihat wajahnya!

Walaupun demikian, tanpa harus melihat wajahnya, aku merasa begitu mengenal jurus-jurusnya!

Memang, meski baru setahun lebih kutinggalkan Yavabhumipala, tetapi bagaikan sudah begitu lama rasanya aku terakhir kali menghadapi jurus semacam ini...

Pedang itu berkesiur dari samping kanan. Aku membungkuk untuk menghindar sambil melambaikan lengan dan telapak tangan ke samping kanan. Telapak Darah segera menggempur dadanya yang terbuka!

Ia sekali lagi terlempar sambil memuntahkan darah. Jatuh bergulingan di atas permukaan air dan terkapar mengambang. Aku mendekat sambil berjalan di atas permukaan air. Kali ini dapat kulihat wajahnya...

Busananya memang sama belaka dengan busanaku, yakni busana golongan bawah di Negeri Atap Langit, tetapi dari wajahnya jelas ia seorang Jawa!

"Salam dari Naga Hitam," katanya lirih, dalam bahasa Jawa.

Aliran kanal seperti tiba-tiba bertambah deras membawanya pergi. Saat itu ia belum tewas, tetapi dengan kibasan Telapak Darah sekeras itu tiada lagi jalan lain baginya selain mati. (bersambung)


1 Segala cerita tentang gelandangan dan pengemis ini, kecuali menyangkut Partai Pengemis, merujuk kepada Benn, op.cit., h. 52-3.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 1:27 PM
#45 Salam dari Naga Hitam 4.5 5 Unknown August 16, 2014 "Salam dari Naga Hitam," katanya lirih, dalam bahasa Jawa. Aliran kanal seperti tiba-tiba bertambah deras membawanya pergi. Saat itu ia belum tewas, tetapi dengan kibasan Telapak Darah sekeras itu tiada lagi jalan lain baginya selain mati. Mendadak saja kota yang megah dan meriah ini bagiku serasa menjadi kota yang gelap, muram, dan berbau apak. Betapapun kemudian akan kuketahu...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak