#51 10: Huru-Hara di Pasar Barat

August 22, 2014   

SAMPAI di sini aku tersentak. Harimau Perang? Mestikah sebaiknya kupertimbangkan bahwa inilah yang dimaksud Kaki Angin sebagai pihak yang mengenalku dan kukenal pula, meski kami tidak pernah benar-benar bertatapan muka?

Melihat aku masih diam saja, Elang Merah bertanya lagi.

"Bagaimana?"

Mata Yan Zi yang menatapku itu seperti mengatakan, "Jangan."

Aku tak dapat menebak apakah yang menjadi alasannya.

Meskipun Yan Zi dan diriku di satu pihak pernah berhadapan sebagai lawan Elang Merah, saling percaya antara kami bertiga semestinyalah tidak perlu dipertanyakan lagi.

Dalam perang maupun damai, Kerajaan Tibet bagaikan musuh abadi Negeri Atap Langit. Dapat kubayangkan betapa jaringan mata-mata Tibet tentu sudahlah sangat kokoh, sehingga memanfaatkannya untuk menghimpun keterangan pasti akan berguna sekali. Apakah Yan Zi menjadi keberatan hanya karena menyadari perbedaan, bahwa dirinya betapapun adalah warga Negeri Atap Langit dan Elang Merah sebenarnya mata-mata Kerajaan Tibet?

Kami berada di luar kamar, duduk pada kursi-kursi yang terletak di tepi pagar, tempat kami bisa memandang dan melihat para teruna bernyanyi sambil memetik kecapi di lantai dasar. Hari masih siang tetapi para bangsawan dan orang-orang kaya sudah mabuk tertawa-tawa dalam busana serba mewahnya.

Kedua perempuan itu menatapku. Aku terdiam dan memusatkan perhatian. Apakah yang sebenarnya berada dalam benak Yan Zi ketika matanya berkata, "Jangan?" Apakah yang sebenarnya berada dalam benak Elang Merah ketika dengan sangat masuk akalnya ia tawarkan jasa jaringan mata-mata Kerajaan Tibet agar kami tidak terjebak dan tergantung hanya kepada jaringan Yang Mulia Paduka Bayang-bayang.

Apa pun, kini aku tahu, bahwa semenjak dari Javadvipa usaha pembongkaran kerahasiaan hanya semakin menenggelamkanku ke dalam kerahasiaan demi kerahasiaan yang baru. Bahkan siapa diriku pun sampai saat ini aku tidak tahu!

Betapapun aku memang selalu bertanya-tanya, masihkah dunia ini menarik dihidupi jika tiada rahasia lagi? Dalam ajaran Jalan Tengah dikatakan:

tiada yang lebih jelas selain yang rahasia
tiada yang lebih nyata selain yang rinci
karenanya
manusia utama waspada terhadap diri sendiri
meski ketika sedang sendiri 1


Kedua perempuan pendekar itu masih menatapku. Sulit sekali kedudukanku menghadapi dua pilihan, apakah tetap berusaha mencuri Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri dengan kerja sama jaringan Yang Mulia Paduka Bayang-bayang, ataukah melengkapinya lagi dengan jaringan mata-mata Kerajaan Tibet?

Masalahnya bukan manakah yang harus dipilih di antara keduanya, melainkan bahwa yang mengatakan ''jangan'' adalah Yan Zi Si Walet. Aku tak dapat memilih sama seperti aku tak dapat mengalahkan kepentingan salah satu di antara kedua perempuan itu tanpa aku harus tahu kepentingan apa yang berada di balik kehendak masing-masing atas penawarannya. Meski Yan Zi hanya berbicara melalui matanya, aku tak bisa beranggapan tidak mengetahui gagasannya, dan pada waktu yang sama tak bisa pula mengandaikan Elang Merah tidak mengetahuinya!

Sebagai orang asing, meski telah kudengar dan kuketahui permusuhan mendalam antara Negeri Atap Langit dan Kerajaan Tibet, betapapun tidak dapat kuhayati sepenuhnya seperti Yan Zi, yang dalam keadaan menyimpan dendam terhadap ke­kuasaan Wangsa Tang, ternyata menganggap usulan Elang Merah sebagai ancaman. Namun benarkah Yan Zi mengatakan ''jangan'' memang karena perasaannya sebagai warga Negeri Atap Langit, ataukah karena suatu sebab yang bahkan untuk berkata ''jangan'' pun harus melalui mata?

Saling pengertian di antara kami bertiga sesungguhnyalah luar biasa, seperti dalam berbagai kejadian kami telah saling mengerti hanya dengan saling memandang saja. Namun apabila kini Yan Zi mengatakan sesuatu melalui pandangan matanya tanpa ingin diketahui Elang Merah, meski bahkan diketahuinya betapa Elang Merah akan mengetahuinya, membuatku dengan sangat amat mendadak merasakan suatu jarak antara kedua perempuan pendekar itu dengan begitu lebarnya!

"Pendekar Tanpa Nama," ujar Elang Merah tiba-tiba, "mengapa dikau tidak menjawab apa pun jua?"

"Aku sedang memikirkannya," kataku, yang jelas terdengar sebagai bukan jawaban sejujurnya.

"Jika demikian katakanlah apa yang dikau pikirkan, bukankah di antara kita bertiga segalanya selalu terbuka?"

Aku menahan napas. Dari nadanya jelas betapa Elang Merah menujukan kata-katanya kepada Yan Zi!

Meskipun hari masih mendung, jalanan di Petak Teruna tetap saja ramai, tetapi dunia mendadak serasa begitu sunyi ketika aku menenggelamkan diri dalam pikiranku. (bersambung)


1 Minick, op. cit., h. 99. Disebut teracu kepada Doctrine of the Mean, yang jika dirujukkan kepada Lin Yutang, The Wisdom of China and India (1942), salah satu acuan Minick, teruraikan dalam bagian "The Middle Way", h. 811-64.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:43 PM
#51 10: Huru-Hara di Pasar Barat 4.5 5 Unknown August 22, 2014 tiada yang lebih jelas selain yang rahasia, tiada yang lebih nyata selain yang rinci, karenanya manusia utama waspada terhadap diri sendiri meski ketika sedang sendiri. SAMPAI di sini aku tersentak. Harimau Perang? Mestikah sebaiknya kupertimbangkan bahwa inilah yang dimaksud Kaki Angin sebagai pihak yang me...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak