#53 Ilmu Bisikan Sukma

August 24, 2014   

SAAT itulah terdengar suara canang dipukul keras. Seorang petugas kerajaan tampak berada di atas kuda dengan busana kuning dan topi hitam bertepian merah. Ia meneriakkan pengumuman di luar kepala dengan seruan lantang.

"Lelang mestika! Lelang mestika! Lelang senjata istana yang paling sakti dan paling keramat agar rakyat yang mampu membeli dapat ikut memiliki! Lelang mestika! Lelang mestika! Akan dimulai tiga hari lagi!"

Kami bertiga saling memandang. Cepat sekali kabar angin ini menjadi kenyataan. Kemudian menjadi jelas pula bahwa pengumuman itu hanya disampaikan di bagian timur kota, tempat permukiman para bangsawan dan pejabat tinggi, dan terutama di wilayah Dusun Kecil Utara, wilayah tempat Petak Teruna ini berada, karena menjadi ajang berkumpulnya para saudagar ternama serta kaya raya. Tidak ada gunanya mengumumkan lelang senjata mestika ini di bagian barat kota yang lebih padat, terutama oleh gelandangan dan pengembara miskin jelata, karena hanya mereka yang membawa pundi-pundi uang emas dalam jumlah tertentu dapat memasuki tempat pelelangan, yakni lapangan sepak bola di sisi timur Istana Daming.

"Jika Pedang Mata Cahaya ikut dilelang aku harus mengambilnya, tidak mungkin kubiarkan pedang itu dibeli orang dan dibawa tak jelas ke mana," ujar Yan Zi.

Ini memang membingungkan. Kami siap untuk menyelinap ke dalam istana dan mencurinya, bukan membelinya dengan penawaran harga tertinggi.

Apakah kiranya yang dibayangkan Yan Zi? Ia tidak bisa melesat dari atap ke atap begitu saja dan melompati tembok untuk turun menyambar pedang itu. Betapapun tinggi ilmu silatnya dan betapapun ampuh Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan yang dipegangnya, melakukannya tanpa pengetahuan mendalam tentang siapa saja yang ada di sana bukanlah tindakan yang terlalu bijaksana.

"Masih tiga hari lagi," kataku, "Kaki Angin pasti akan menghubungi kita, dan kukira kita pun dapat berusaha memastikannya."

Sambil mengucapkannya aku mengarahkan pandangan kepada Elang Merah dengan tatapan tertentu. Elang Merah dan Yan Zi saling berpandangan dan mengangguk kepadaku. Mungkin kehati-hatian kami berlebihan, tetapi jika ada seseorang yang mencoba mendengarkan percakapan kami dengan cara itu dari jauh, ia tidak akan mendengar apa pun.

Aku teringat Laozi:

Dalam pembelajaran,
setiap hari ada perkembangan.
Dalam belajar mencari jalan,
setiap hari ada penyusutan.1


Kami mengikuti Elang Merah menyelusuri jaringan mata-mata Tibet. Itu berarti kami menyelusuri nyaris segenap lorong-lorong Chang'an untuk mencari tempat diasingkannya orang-orang yang sakit kusta. Rahasia disembunyikan di tempat yang paling rahasia. Dalam hal jaringan mata-mata Tibet agaknya itu antara lain adalah tempat yang paling dihindari manusia, sekaligus tempat yang paling rahasia, karena sebenarnya orang-orang berpenyakit kusta tidak dibenarkan berada di dalam kota. Dahulu terdapat bangsal kusta nun di tepi Sungai Yangzi, yang keberadaannya lantas diketahui lebih banyak orang ketika seorang bhiksu yang mengurus dan tinggal bersama mereka, menyedot nanah dari bisul mereka dan memandikannya, meninggal tahun 654 2 dan membuat banyak orang kehilangan.

Terhadap orang-orang yang terbuang itu bhiksu ini menyampaikan ajaran dan membagikan sutra yang beredar dari tangan ke tangan. Namun orang-orang awam yang picik dan bodoh menganggap penyakit kusta adalah kutukan, dan penderitanya adalah orang-orang terkutuk yang layak dibantai serta dimusnahkan jika tidak ingin mereka menyebarkan kutukan itu, sehingga jika bangsal-bangsal kusta itu tidak roboh dan terbakar maka para penderita kusta yang melarikan diri, menghilang tak jelas ke mana, dengan peluang membuat penyakit itu lebih tersebar lagi - dan di Kotaraja Chang'an terdapatlah sebuah lorong yang terlindungi dan terahasiakan. Dalam kenyataannya, bukanlah orang-orang terkutuk yang dapat mengidap penyakit itu melainkan siapa pun dari semua kalangan yang di antaranya tahu benar bahwa mendapatkan penyakit kusta bukanlah berarti mendapat kutukan dan karena itu tidak benar jika wajib disingkirkan dan dimusnahkan. Dari kelompok inilah terdapat seseorang dari jaringan mata-mata Tibet, yang melaluinya Elang Merah berharap dapat membuka rahasia tersimpannya Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri itu di istana.

"Segenap hasil pekerjaan rahasia jaringan disimpan di tempat-tempat tersembunyi dan terlindungi agar keamanan dan kerahasiaannya terjamin," ujar Elang Merah dengan Ilmu Bisikan Sukma, yang terpaksa segera kami pelajari untuk menghindari kemungkinan didengar Yang Mulia Paduka Bayang-bayang. (bersambung)


1 Jalan di sini tentu arti dari Dao, melalui Wen Haiming, Chinese Philosophy [2012 (2010)], h. 47.

2 Benn, op.cit., h. 228.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 2:29 PM
#53 Ilmu Bisikan Sukma 4.5 5 Unknown August 24, 2014 SAAT itulah terdengar suara canang dipukul keras. Seorang petugas kerajaan tampak berada di atas kuda dengan busana kuning dan topi hitam bertepian merah. Ia meneriakkan pengumuman di luar kepala dengan seruan lantang. SAAT itulah terdengar suara canang dipukul keras. Seorang petugas kerajaan tampak berada di atas kuda dengan busana kuning dan topi hitam be...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak