#55 Keributan di Tempat Hukuman Cekik

August 26, 2014   

"JANGAN berpikir hukuman cekik ini dilakukan dengan tangan," kata Elang Merah sambil berjalan, "melainkan dengan seutas tali yang dijepitkan ke leher orang hukuman, dipelintir oleh dua algojo di kiri dan di kanan, sementara orang hukuman itu diikat kedua tangan dan kakinya pada tiang."

Seterusnya, pemelintiran dilakukan oleh masing-masing algojo dengan arah berlawanan, sehingga tali itu mencekik leher orang hukuman dengan semakin lama semakin keras. Sangat mengenaskan melihat orang hukuman mati tercekik dengan lidah terjulur kehabisan napas. Itulah hukuman bagi para penculik manusia untuk dijadikan budak, untuk mereka yang melakukan tuduhan kepada kakek-neneknya melalui seorang hakim, ataupun membuka peti mati ketika menodai kuburan.

Pada masa Wangsa Tang tidak ada hukuman gantung, karena sudah lebih sering dilakukan orang bunuh diri. Meskipun hukum cekik jauh lebih menderita, orang-orang Negeri Atap Langit menganggap hukuman itu lebih baik daripada hukuman pancung atawa penggal yang memisahkan kepala, karena kepala dipercaya sebagai pemberian terpenting dari orang tua, dan dikubur tanpa mengembalikan kepala itu sungguh merupakan penghinaan bagi leluhurnya. Ketika Maharaja Daizong menghukum pancung seorang pelayan kebiri, masih terdapat rasa hormat terhadap kepercayaan itu sehingga ia perintahkan agar orang hukuman itu saat dikuburkan kepalanya diganti dengan kepala kayu 1.

Esoknya kami telah berada di tempat itu, yang sekarang ramai dengan orang-orang menonton. Seperti semua hukuman lain, hukuman cekik juga sengaja dipertontonkan kepada orang banyak, yang meskipun dimaksudkan untuk membuat rakyat menjadi patuh terhadap peraturan dan tidak melakukan tindak kejahatan, tidaklah mengherankan jika diterima pula sebagai hiburan. Dalam hal hukuman pancung, kepalanya akan dipamerkan di ujung tombak atau galah dan tubuhnya digeletakkan di bawahnya. Setelah selesai dipamerkan, pejabat setempat akan memasukkan kepala itu ke dalam kotak, lantas mengirimkan kepada yang berwenang untuk memastikan siapa terhukum dan mengesahkannya.

Begitulah kami berada di antara orang-orang yang menonton hukuman cekik di Pasar Barat, dan kami bertiga sengaja memisahkan diri agar tidak mengundang perhatian siapa pun yang berbakat menjadi mata-mata sejati. Mata-mata Tibet itu akan menyerahkan peta menuju ke tempat persembunyian orang-orang berpenyakit kusta kepada Elang Merah, tetapi ia belum terlihat sejak tadi. Aku tidak melihat di mana Yan Zi. Namun kudengar ia melalui Ilmu Bisikan Sukma.

"Kudengar sejumlah orang berbisik-bisik, seperti merencanakan sesuatu,'' katanya, ''tampaknya yang dihukum bukan sembarang penjahat."

Hari sudah siang dan langit mendung. Tampaknya para petugas ingin segera melaksanakan hukuman sebelum hujan turun. Namun ketika terlihat orang hukuman itu dikeluarkan dari kereta tahanan, yang berupa sebuah peti besar beroda empat dengan lubang di atas untuk memperlihatkan kepalanya, orang-orang yang berkerumun mulai mendesak-desak maju. Mereka seperti mau mendekati kereta tahanan itu, tetapi para petugas menghalanginya.

"Berhenti! Jangan dekat-dekat!"

Namun yang di depan terdorong oleh yang mendesak dari belakang. Sekarang aku bisa melihatnya, terdapat sejumlah orang yang saling memberi tanda, untuk dengan sengaja melalui cara-cara yang telah diperhitungkan membuat keributan.

"Bebaskan tahanan itu! Dia tidak bersalah!"

Bahkan tahanan itu yang hanya terlihat kepalanya pun berteriak-teriak.

"Ya, aku tidak bersalah, semua hanya fitnah!"

Lantas terdengar teriakan sahutan dari tengah kerumunan.

"Bebaskan dia!"

"Bebaskan dia!"

"Ya, bebaskan dia!"

"Bebaskan!"

"Bebaskan!"

"Bebaskan!"

Para petugas yang hanya enam orang itu tampak agak panik, seperti tidak siap menghadapi keadaan seperti ini. Mereka mencabut kelewang dari sarung dan mempergunakannya untuk menakut-nakuti agar orang banyak itu tidak maju. Bahkan juga tombak disodok-sodokkan ke depan, tetapi agaknya suatu kerusuhan memang telah direncanakan, karena ternyata orang-orang yang mendesak dari belakang itu tak hanya mendesak, melainkan mendorong begitu rupa agar barisan terdepan kiranya dapat setidaknya terluka oleh senjata-senjata itu.

"Aaaaaaah!"

Memang akhirnya tombak itu menusuk perut seseorang, dan seseorang yang lain terbacok pundaknya oleh sabetan kelewang!

"Para petugas ini membunuh rakyat!"

"Rampas senjatanya!"

"Serbu!"

Enam orang petugas itu tak berdaya, dan bukan hanya senjatanya lantas terampas, tetapi mereka kemudian terbunuh pula. (bersambung)


1 Ibid., h. 207-8.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 5:01 PM
#55 Keributan di Tempat Hukuman Cekik 4.5 5 Unknown August 26, 2014 "JANGAN berpikir hukuman cekik ini dilakukan dengan tangan," kata Elang Merah sambil berjalan, "melainkan dengan seutas tali yang dijepitkan ke leher orang hukuman, dipelintir oleh dua algojo di kiri dan di kanan, sementara orang hukuman itu diikat kedua tangan dan kakinya pada tiang." "JANGAN berpikir hukuman cekik ini dilakukan dengan tangan," kata Elang Merah sambil berjalan, "melainkan dengan seutas tali ...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak