#60 Berusaha Menolong Elang Merah

August 31, 2014   

AKU segera mendekati pelempar jarum berbusana serbahitam yang hanya terlihat matanya karena wajahnya tertutup kain hitam. Kutotok jalan darah yang menghalangi bekerjanya racun, setidaknya memperlambat kerja racun itu agar masih bisa kudapatkan penawar racun senjatanya tersebut.

Kubuka tutup wajahnya dan segera kulihat rajah penanda Golongan Murni di dahinya. Kupegang tengkuknya.

"Obat penawar," kataku, "atau dikau tidak akan pernah mati dan hidup dalam kesakitan."

Ia tersenyum dan menggeleng, mulutnya sudah berbusa.

Kutekankan jariku di tengkuknya untuk memberikan rasa sakit yang luar biasa. Ia tidak bersuara, tetapi matanya merah dan mengerinyit menahan sakit. Kutahu anggota perkumpulan rahasia memang dipersiapkan untuk menerima siksaan, terutama untuk tidak membocorkan rahasia, bahkan dengan sengaja mereka mungkin tak berkeluarga, agar tiada yang bisa dijadikan sandera untuk memeras keterangan darinya.

Kutengok Elang Merah. Wajahnya memucat dan seperti akan menjadi biru. Yan Zi telah menotok jalan darah di berbagai titik tubuhnya, tetapi racun untuk membunuh yang diolah perkumpulan rahasia memang selalu ampuh. Betapapun segala cara harus kulakukan untuk menyelamatkan jiwa Elang Merah!

Kusalurkan tenaga dalam melalui jari-jariku, dan kutahu betapa rasa sakitnya akan meningkat berlipat-lipat. Aku harus berusaha mengatasi kesakitan yang mungkin pernah diterimanya dalam latihan sambil terus berusaha melemahkan semangatnya.

"Tidak ada artinya mengabdi kepada Golongan Murni yang hanya peduli kepada kepentingannya sendiri," kataku, "Jika dikau bertahan untuk tidak bicara, dikau dapat kubuat tetap hidup dan selamanya kesakitan..."

Sebetulnya bukanlah kesakitan terutama yang akan dirasakannya, melainkan perasaan mengambang dalam kegelapan yang menakutkan, yang mampu meruntuhkan segenap nyali dan ketabahannya dalam keterasingan dunia yang menggentarkan. Memang benar ada kesakitan teramat sangat, tetapi usaha mengikis keyakinan yang membuatnya dapat bertahan terhadap kesakitan itulah yang harus dilakukan.

Namun orang-orang berdatangan dari segala penjuru. Dari dalam Vihara Dao maupun dari depan rumah ahli nujum itu. Mereka berdatangan karena melihat mayat bergelimpangan. Meskipun cerita tentang sungai telaga mungkin pernah mereka dengar, pemandangan orang-orang bersenjata yang bertarung melawan bayangan tak terlihat tidaklah terjadi setiap hari.

Kini, selain melihat mayat-mayat bergelimpangan, mereka juga melihat bagaimana Yan Zi menangisi Elang Merah dan melihat juga diriku yang menghadapi orang terkapar ini.

X"Golongan Murni, dikau tahu mereka selalu menggunakan tangan orang lain," kataku lagi, "Mereka akan menghabisi seluruh keluargamu jika perlu, hanya untuk menutupi jejak-jejak kejahatan mereka, ada maupun tidak ada jejak-jejak itu, karena mereka tak tahu apa yang dikau beritahukan maupun yang tidak dikau beritahukan kepadaku."

Kuulangi gagasan itu berkali-kali untuk menekankan bahwa kesetiaan dan pengorbanannya hanyalah akan sia-sia ketika mati pun ia tak bisa, sementara kesakitannya yang amat sangat bagaikan akan jadi abadi.

"Aku bisa menahan agar racun itu tidak pernah mencapai jantung," kataku, "Dikau akan selalu kesakitan dan tidak pernah tahu kapan akan mati dan tidak bisa pula bunuh diri, sedangkan orang-orang yang menugaskan dikau lepas tangan selamanya menikmati kemewahan di rumah gedung mereka yang megah."

Matanya mulai melirikku.

"Aku orang asing di negeri ini, tidak punya kepentingan apa pun, jadi dikau semestinya percaya kepadaku," kataku sambil menambah tingkat kesakitan ke seluruh urat sarafnya.

Terdengar suara Yan Zi yang menangis tersedu-sedu.

"Meimei! Meimei! Bertahanlah! Jangan tinggalkan daku!"

Hatiku tercekat menyadari betapa erat hubungan keduanya, dan tidak kurang-kurangnya aku pun tercekat mengingat nasib yang menimpa Elang Merah, yang bisa berada di tempat ini hanya karena keinginannya mengikuti ke mana pun kakiku melangkah pergi.

Kucengkeram lebih keras lagi tengkuk orang ini.

"Aku akan menyiksamu seumur hidup jika kawanku mati karena racunmu!"

Wajahnya merah padam dengan urat-urat yang tampak menonjol karena menahan kesakitan luar biasa. Saat itu kulepaskan cengkeramanku, tetapi kesakitan yang telah dialaminya tidak akan pernah hilang. Seperti kuberitahukan kepadanya betapa kesakitan itu tidak akan pernah hilang jika bukan aku yang melepaskan totokan jalan darahnya.

Lantas aku pun mendekati Elang Merah yang berada di pangkuan Yan Zi. (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 7:59 PM
#60 Berusaha Menolong Elang Merah 4.5 5 Unknown August 31, 2014 AKU segera mendekati pelempar jarum berbusana serbahitam yang hanya terlihat matanya karena wajahnya tertutup kain hitam. Kutotok jalan darah yang menghalangi bekerjanya racun, setidaknya memperlambat kerja racun itu agar masih bisa kudapatkan penawar racun senjatanya tersebut. AKU segera mendekati pelempar jarum berbusana serbahitam yang hanya terlihat matanya karena wajahnya tertutup kain hitam. Kutotok jalan dara...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak