#61 Elang Merah Gugur

September 1, 2014   

Kepala Elang Merah tergolek lemah. Totokan jalan darah yang dilakukan Yan Zi untuk sementara akan membuat Elang Merah tetap hidup karena racunnya tertahan, tetapi dengan masih terdapatnya racun itu di dalam tubuhnya, jika tidak mendapatkan obat penawar, maka racunnya lambat laun akan tetap menjalar ke arah jantung dan membunuhnya.

Elang Merah memandangku dengan iba ketika aku mendekat. Dialah yang memandangiku dengan perasaan iba, ketika aku sedang memandanginya dengan perasaan iba! Dia lebih memikirkan kepentinganku daripada kepentingannya sendiri...

Kubalikkan tubuhnya untuk melihat luka, setelah membuka busana laki-laki bagian atas yang dikenakannya. Jarum-jarum itu telah menembus pundaknya, tepat pada yang disebut yang wei mo, yang akan segera melumpuhkannya karena langsung menuju ke urat saraf di bagian kepala.1

"Pendekar Tanpa Nama...," ujarnya lemah, "maafkanlah Elang Merah, yang tak bisa lagi menjaganya..."

Mataku terasa panas, tetapi kutahan sebisanya agar airmataku tidak tumpah.

"Elang Merah jangan sedih," kataku, "Elang Merah akan sembuh kembali..."

Elang Merah tersenyum. Perempuan pendekar yang sungguh perkasa itu memang cantik. Tangannya terangkat mengusap pipi Yan Zi.

"Selamat tinggal Zizi..."

Yan Zi menangis tak bisa ditahan lagi.

"Meimeiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!!!!!!!!!!!" Jeritnya keras sekali.

Aku menggertakkan gigi. Racun itu rupanya memang ganas. Jika bukan karena totokan jalan darah Yan Zi, maka Elang Merah akan tewas seketika. Totokan itu hanya menunda kematiannya sejenak, sekadar agar Elang Merah bisa mengucapkan selamat tinggal...

Orang-orang yang mendekat seperti mengerti perkabungan yang sedang berlangsung. Mereka tidak meneruskan langkahnya.

Aku menoleh ke arah pembunuh gelap itu. Matanya menatapku dan mulutnya bergerak seperti akan mengucapkan sesuatu. Wajahnya menunjukkan kesakitan yang amat sangat. Dalam kedukaanku yang amat berat aku beranjak. Namun aku kalah cepat. Yan Zi telah berkelebat dan dalam sekali tetak kepala pembunuh gelap itu lepas dari tubuhnya, menggelinding ke arah orang-orang yang semula berdatangan tetapi yang kini menjerit-jerit dan berlarian lintang pukang ke segala arah dengan ketakutan.

"Kepala orang! Kepala orang!"

Dari lehernya darah menyembur seperti pancuran menyiram tanah dan menjadikannya merah. Yan Zi telah kembali memeluk tubuh Elang Merah yang tergolek dan menangisinya dengan suara memilukan.

"Meimeiiii... Meimeiiii... Jangan tinggalkan aku Meimeiiiii, jangan tinggalkan aku..."

Langit bagaikan mendadak saja menggelap dan turun hujan. Tanah lapang yang semula menjadi tempat pertarungan kini basah karena air hujan yang sebagian mengalir dan sebagian menggenang. Tubuh-tubuh tanpa nyawa masih bergeletakan, tengadah maupun telungkup, basah kuyup dalam siraman hujan yang menderas. Darah yang mengalir dan membuat tanah menjadi merah tersapu arus air yang dengan begitu juga menjadi merah.

Kulihat wajah-wajah yang sebagian matanya tertutup dengan mulut menyeringai bagai masih kesakitan maupun yang matanya terbuka menengadah ke langit dengan mulut ternganga seperti masih dapat melihat sesuatu di atas sana. Siapa sajakah mereka yang telah menantang maut dan tewas hari ini?

Seperti juga Elang Merah, meskipun para penyoren pedang selalu siap untuk mati, manusia sebenarnyalah tak pernah tahu pasti kapan dirinya akan mati. Bagi yang sudah mati, sesungguhnyalah kehidupan di dunia ini sudah tidak penting lagi; bagi yang masih hidup, sungguh hanya kehidupanlah yang dapat mereka alami. Kehidupan dan kematian, pasangan yang sungguh saling memisahkan tanpa pernah dapat mempertemukan lagi. Tak akan dan tak akan pernah. Kecuali dalam kenangan dan khayalan, yang semakin disadari keberadaannya sebagai kenangan dan khayalan semakin menenggelamkan yang baru saja ditinggalkan dalam kedukaan.

Kuraih pedang Elang Merah yang tergeletak. Jika dia memang ingin mengabdikan hidupnya dengan menjagaku maka biarlah pedangnya ini mewakili dirinya menjaga keselamatanku. Pedang adalah jiwa seorang pendekar. Dengan menggunakan pedangnya biarlah jiwanya menyatu dengan jiwaku menghadapi segala pertarungan di sungai telaga dunia persilatan.

Kong Fuzi berkata:

apa yang dicari manusia unggulan di dalam dirinya
dicari manusia biasa pada orang lain 2


Yan Zi masih terus bersimpuh dengan Elang Merah di pangkuannya sambil masih terus menangis tersedu-sedu.

"Meimei... Meimei..."

Aku mendekat dan memeluk Yan Zi dari belakang. Tangisnya tak kunjung berhenti. Airmatanya bercampur air hujan yang membasahi pipi. Tiada dapat kubahasakan lagi perasaan duka yang mengguyur dan terserap merasuki tubuh dan jiwa kami. (bersambung)


1 Pembuluh penghubung Yang, tengok diagram dalam Felix Mann, The Meridiens of Acupuncture (1964), h. 173.

2 Melalui Minick, ibid., h. 98.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:13 PM
#61 Elang Merah Gugur 4.5 5 Unknown September 1, 2014 Kepala Elang Merah tergolek lemah. Totokan jalan darah yang dilakukan Yan Zi untuk sementara akan membuat Elang Merah tetap hidup karena racunnya tertahan, tetapi dengan masih terdapatnya racun itu di dalam tubuhnya, jika tidak mendapatkan obat penawar, maka racunnya lambat laun akan tetap menjalar ke arah jantung dan membunuhnya. Kepala Elang Merah tergolek lemah. Totokan jalan darah yang dilakukan Yan Zi untuk sementara akan membuat Elang Merah tetap hidup karena rac...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak