#65 Cinta dan Sumpah Setia Seorang Kerani

September 5, 2014   

"DAKU hanyalah seorang gadis biasa," katanya terisak, "yang menyadari betapa kedudukanku tiada setara. Dikau menyukai diriku karena apa yang tampak di matamu, tetapi daku merasa khawatir karena kecantikan bisa memudar, dan apa yang dikau rasakan juga akan luntur, sehingga diriku bagaikan pohon anggur tanpa tempat bergantung, atau seperti kipas yang ditinggalkan dengan berlalunya musim panas. Dalam saat-saat kebahagiaanku, daku diliputi firasat nan gelap."

Tersentuh oleh kata-kata seperti itu, pemuda terpelajar itu pun menjawab.

"Telah daku temukan cintaku yang sempurna," ujarnya untuk menyenangkan, sembari menjadikan lengan sebagai bantal bagi perempuan itu. "Daku bersumpah sepenuh hati tidak akan meninggalkan dikau. Jika daku melanggar sumpah ini, biarlah tulang belulangku lebur menjadi abu dan tubuhku terbantai menjadi ribuan potongan. Mengapa dikau berbicara seperti itu? Berikan kepadaku secarik sutera putih dan akan daku tuliskan dengan tinta apa yang telah kujadikan sumpah."

Seorang pelayan yang namanya disamakan dengan buah ceri segera diperintahkan menyediakan sepotong kain satin berwarna putih, lengkap dengan alat tulis yang disebut kuas dan batu gerinda. Di bawah cahaya lilin yang terang sang terpelajar pecinta itu menuliskan pernyataan sejati, bahwa gunung-gunung dan sungai-sungai, matahari dan rembulan, menjadi saksi atas kesetiaan abadinya terhadap sang gadis yang sangat dicintainya. Setiap kata dan setiap kalimat menegaskan taraf kasih sayang dan cintanya yang besar kepada Giok, yang setelah dengan tak sabar membacanya, menghela napas panjang dengan penuh suka cita. Kain putih berharga itu pun dengan cermat disimpannya di dalam kotak perhiasan.

Dikisahkan betapa pasangan ini hidup bersama selama dua tahun dengan penuh kebahagiaan, siang dan malam nyaris tak pernah berpisah. Namun pada tahun ketiga Li Yi lulus ujian pegawai negeri, dan ditunjuk menjadi kerani Kabupaten Cheng, dan bulan keempat tahun itu ia bersiap-siap menuju tempat tugasnya yang baru. Maka diadakanlah acara makan malam perpisahan dengan mengundang banyak orang. Itu terjadi akhir musim dan awal musim panas ketika alam sedang begitu ramah. Setelah anggur dihabiskan dan tamu-tamu mengucapkan salam pamitan sembari menjura, hanya tersisa pasangan itu yang lantas terlibat percakapan.

"Dikau dipuja oleh seluruh dunia," kata Giok, "karena bakat, kedudukan dalam masyarakat, dan kemampuanmu dalam susastra, bagaikan setiap bapak akan bangga memiliki menantu seperti dirimu. Orang tuamu selalu menunggu kepulanganmu, dan karena tiada menantu perempuan yang membantu urusan rumah, dikau pasti harus menikah saat pulang ke rumah. Sebagaimana janji setia yang dipertukarkan di antara kita, berikut dengan sumpahmu, mereka hanyalah kata-kata yang sia-sia dan kosong. Namun daku memiliki suatu keinginan kecil untuk diketahui olehmu, dan karena ini berasal dari pandangan kasih sayang yang dalam dan murni seperti yang kumiliki kepadamu, barangkali dikau bersedia mendengarkan."

"Dengan cara apa maka daku telah membuat dirimu mengira betapa aku tiada akan sudi mendengarkanmu?" ujar Li, "Dengan suka hati daku akan mendengarkan apa pun yang dikau katakan."

Sampai di sini Ibu Pao yang menyampaikan cerita itu kepadaku di Penginapan Teratai Emas, ketika mengantarkan dan menunggui wanita-wanita asuhannya yang berada di dalam kamar, berhenti sejenak.

"Apa yang dikatakannya?" Aku bertanya dengan penasaran. Ibu Pao tersenyum, meskipun sudah berumur, dia terlihat sangat cantik.

"Belikan aku arak," katanya.

Maka aku pun memesan arak. Melihat Ibu Pao menenggak arak aku pun teringat puisi Li Bai:

Saat kami berdua minum bersama,
ketika bunga gunung mekar di sisi,
kami menuang,

semangkuk demi semangkuk,
sampai kumabuk dan ngantuk,
jadi, pergilah!
Besok kalau mau
datanglah dan
bawa serulingmu! 1


Wajahnya memerah ketika ia bercerita kembali.

"Umurku delapan belas tahun," ujar Giok, "dan umur dikau duapuluhdua tahun, masih ada delapan tahun lagi sebelum dirimu mencapai usia perkawinan secara adat. Marilah kita nikmati tahun-tahun penuh berkah cinta ini. Setelah itu, belum akan terlambat jika dikau mengikat seorang gadis yang bermutu. Sedangkan diriku biarlah kugunduli rambutku dan mengenakan busana perempuan rahib selama sisa hidupku, membahagiakan diri dengan sumpah sejatiku." (bersambung)


1 Diterjemahkan dari "Drinking with Someone in the Mountains" dalam Rewi Alley, Li Pai: 200 Selected Poems [1987 (1980)], h. 202.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 9:26 PM
#65 Cinta dan Sumpah Setia Seorang Kerani 4.5 5 Unknown September 5, 2014 Saat kami berdua minum bersama, ketika bunga gunung mekar di sisi, kami menuang, semangkuk demi semangkuk, sampai kumabuk dan ngantuk, jadi, pergilah! Besok kalau mau datanglah dan bawa serulingmu! "DAKU hanyalah seorang gadis biasa," katanya terisak, "yang menyadari betapa kedudukanku tiada setara. Dikau menyukai diriku ...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak