#80 Perempuan Gila dan Tubuh yang Jatuh

September 20, 2014   

MESKIPUN kepercayaan terhadap kehebatan suatu senjata mestika mungkin ada benarnya, kukira para pemikir Buddha, Kong Fuzi, maupun Dao di istana tidak akan pernah membenarkannya seolah-olah senjata-senjata mestika itu adalah tiang-tiang negara. Itulah, yang menurut perhitunganku, membuat penjagaan atas senjata-senjata mestika terkenal tidak akan lebih ketat dari senjata mestika lain - dan diperhitungkan pula oleh orang-orang Yang Mulia Paduka Bayang-bayang. Pada saat mereka mendapatkan senjata mestika yang mana pun, saat itulah mereka tidak akan peduli lagi kepada kami.

"Jadi kita memang tidak boleh tergantung kepada mereka," kataku kemudian kepada Yan Zi.

Yan Zi mengangguk. Kurasa perempuan gunung ini belajar cukup banyak semenjak meninggalkan kampungnya yang ter­sembunyi, terutama semenjak kematian Elang Merah.

"Sebaiknya kita tetap tinggal di Petak Teruna saja," ujar Yan Zi, "Selain karena semua ongkos sudah ditanggung pihak Yang Mulia Paduka Bayang-bayang, juga kepindahan kita akan memancing kecurigaan mereka."

"Kaki Angin tidak keberatan bukan?"br />
"Tentu Kaki Angin akan berkata seperti itu, tetapi lebih baik mereka ikut menyelidiki bersama kita daripada mereka menyelidiki kita."

Setelah melihat peluang yang bisa diberikan anak-anak asuh Ibu Pao dari dalam istana, aku tidak keberatan untuk tetap bertahan di Petak Teruna, meski aku sudah mulai muak dengan kehidupan semu dunia hiburan di situ. Namun aku juga tidak terlalu yakin bahwa kami tidak pernah diawasi semenjak kedatangan kami, terutama oleh pihak Yang Mulia Paduka Bayang-bayang sendiri. Bukankah aku pernah bercerita bahwa aku merasa selalu dibuntuti?

Banyak hal belum terpecahkan, dan barangkali tidak akan terpecahkan, ketika rahasia yang satu menyusul rahasia yang lain, berhubungan atau tidak berhubungan, bisa dihubungkan atau tidak bisa dihubungkan...

***

Pukulan genderang 400 kali, penanda gerbang-gerbang istana ditutup, sudah lama selesai, dan kini pukulan yang 600 kali, penanda gerbang-gerbang kota dan gerbang-gerbang setiap petak juga harus ditutup, telah pula berakhir. Hari seperti mendadak jadi gelap ketika jam malam tiba, dan semua orang tidak boleh tampak berada di jalan utama di luar tembok yang memisahkan setiap petak, jika tidak ingin berurusan dengan para Pengawal Burung Emas.

Namun malam tetap meriah di Petak Teruna. Kami memasuki bilik kami masing-masing di Penginapan Teratai Emas dengan harapan tetap bisa tidur dalam kemeriahan pesta para bangsawan, pejabat pemerintah, lulusan ujian pegawai negeri, dan para pedagang kaya yang bersenang-senang bagaikan tiada habisnya.

Dalam kelelahan pikiran, suara kecapi, nyanyian, dan pembacaan puisi oleh orang-orang mabuk yang tertawa-tawa tanpa ke­jelasan semakin terjauhkan. Tidak kuketahui sudah berapa lama aku tertidur, ketika aku terbangun karena mendengar suara-suara keras di luar penginapan.

Rupa-rupanya Pengawal Burung Emas telah memergoki seseorang di luar tembok Petak Teruna. Kudengar teriakan melolong-lolong dan bentakan-bentakan.

"Ini kita sudah berada di depan Penginapan Teratai Emas! Siapa yang kamu cari tadi katamu?"

Terdengar suara perempuan ketakutan menangis ketakutan. Ya, menangis melolong-lolong meskipun tidak sekalipun pukulan ia dapatkan ketika seharusnya ia mendapatkan 20 kali cambukan rotan.

"Hei! Perempuan gila! Jangan berteriak-teriak seperti itu! Tadi kamu bilang ada keperluan penting dengan seorang tuan yang tidak ada namanya! Kalau bukan Ibu Pao yang mengutusmu sudah kuinjak-injak kamu sampai mati! Sekarang diam kamu! Kalau tidak..."

Mungkin Pengawal Burung Emas ini seperti akan memukulnya sebagai ancaman agar diam, tetapi itu justru membuat lolongannya menjadi-jadi.

"O, perempuan sial, apa perlu kamu ku..."

Di tengah lolongan, tiba-tiba kudengar tubuh yang jatuh. Hmm... Seseorang telah menotoknya. Lantas terdengar suara ja­tuhnya tubuh-tubuh lain. Rupanya bukan hanya satu Pengawal Burung Emas yang meronda, mungkin satu regu terdiri atas tiga atau empat orang, tetapi semuanya telah dilumpuhkan, bahkan termasuk perempuan yang melolong-lolong itu. Malam sepi kembali, meski di dalam gedung-gedung tempat hiburan di Petak Teruna, suara orang bercanda, bernyanyi, dan tertawa-tawa dalam rangsangan arak sepanjang malam seperti tidak akan pernah berhenti.

Kudengar ketukan di pintu. Kutahu itulah Yan Zi. (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 10:28 PM
#80 Perempuan Gila dan Tubuh yang Jatuh 4.5 5 Unknown September 20, 2014 MESKIPUN kepercayaan terhadap kehebatan suatu senjata mestika mungkin ada benarnya, kukira para pemikir Buddha, Kong Fuzi, maupun Dao di istana tidak akan pernah membenarkannya seolah-olah senjata-senjata mestika itu adalah tiang-tiang negara. MESKIPUN kepercayaan terhadap kehebatan suatu senjata mestika mungkin ada benarnya, kukira para pemikir Buddha, Kong Fuzi, maupun Dao di ist...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak