#85 Sudah Waktunya untuk Berpisah?

September 25, 2014   

TANPA pantulan cahaya matahari, Pedang Mata Cahaya memang agak berkurang kemestikaannya, meski tetap saja adalah pedang mestika. Kukira Yan Zi juga mengenal Jurus Selimut Angin ini. Jika tidak, bagaimana ia bisa memperingatkan diriku lebih dahulu? Kuingat bahwa gurunya pun bernama Angin Mendesau Berwajah Hijau.

Di dalam angin aku bagaikan terhisap sebuah lorong panjang. Kubiarkan diriku dihisap dengan kuat, sembari menyiapkan Jurus Kibasan Api. Begitu kulihat aku hampir mencapai sumbernya. Kukibaskan tanganku dan lorong itu pun segera terbakar dan menyala.

"Hrrrruuuuuaaaaggghhh!!"

Terdengar raungan yang disusul jilatan api ke udara. Aku menghindari api dengan melompat keluar dari lorong.

Api menyala sebentar di udara lantas menghilang, meninggalkan bau hangus daging yang terbakar. Barulah kusadari kejamnya Jurus Kibasan Api ini. Semoga aku tidak pernah harus menggunakannya lagi.

Dalam udara bulan Palguna yang dingin, bau daging terbakar memberi perasaan yang aneh. Seluruh busananya menjadi abu dan tubuhnya seperti arang. Yan Zi segera tiba, dan setelah mengamati sejenak, segera menunjuk dengan pedangnya ke suatu arah pada tubuh manusia yang hangus itu.

"Orang kebiri...," Yan Zi mendesis.

Aku tersentak. Tiada rahasia yang lebih rahasia selain rahasia dalam jaringan orang kebiri. Namun kini suatu kenyataan menyeruak, bahwa seorang kebiri berusaha melenyapkan kami.

Mendadak terdengar suara langkah orang banyak. Kami saling berpandangan sejenak sebelum berkelebat menghilang ke balik kelam.

***

Di Penginapan Teratai Emas kami bersikap seperti pasangan. Sepintas lalu tampaknya merupakan samaran yang mudah, tetapi cukup menimbulkan masalah kepada diri kami sendiri. Semula Yan Zi satu kamar dengan Elang Merah, bukan sekadar karena keduanya perempuan, tetapi seperti yang telah kusaksikan sepanjang perjalanan, kedua perempuan pendekar yang semula bermusuhan itu telah menjadi akrab, sangat akrab, melebihi keakraban persahabatan.

Dengan pikiran kepada Amrita, dan bahkan juga Harini yang telah lama kutinggalkan di Desa Balinawan, hubunganku dengan kedua perempuan pendekar itu sangat jelas batasnya. Yan Zi Si Walet kuperlakukan sebagai titipan yang harus kujaga sebaik-baiknya, sedangkan Elang Merah meskipun secara tersembunyi kukagumi, menempatkan dirinya selalu sebagai orang berutang budi yang mengabdi, meski pandangan matanya tak cukup berdaya menyembunyikan rahasia hatinya. Yan Zi bukan tak tahu apa yang secara sangat amat samar terjadi antara diriku dan Elang Merah, tetapi justru karena memang tidak pernah berlangsung hubungan lebih jauh di antara kami, tidaklah bisa menjadi tegas bagaimana dirinya harus bersikap.

Setelah Elang Merah tiada lagi, sebetulnya keadaan itu belum berubah, tetapi agaknya tinggal sekamar lebih menguntungkan dan lebih aman bagi tugas kami daripada terpisah, karena akan sangat mengurangi salah pengertian. Selain itu, selalu tampak bersama tanpa menjadi pasangan selalu mengundang pertanyaan yang tidak perlu, yang hanya memerlukan sedikit kekeliruan dalam jawaban untuk menghancurkan benteng kerahasiaan yang sudah dibangun. Dalam dunia yang penuh ilmu dan pertarungan rahasia dalam penyusupan, basa-basi kehidupan sehari-hari lebih baik dilupakan. Ternyata oleh Kaki Angin pun ini dianjurkan.

Di dalam kamar, tidur seranjang, meski telah melepaskan segala hasrat ketubuhan yang meruap tanpa diminta, tetaplah kami harus berjuang mengatasi perasaan jengah, karena di dalam kamar itu juga kami membuka dan berganti baju, yang tak dapat menunggu salah satu keluar lebih dahulu. Di balik selimut yang sama, tubuh kami pun sering bersentuhan tanpa sengaja, yang bukannya tidak menimbulkan masalah bagiku dan mungkin juga baginya.

Yan Zi memang 15 tahun lebih tua dariku, tetapi sejak pertemuan pertama di Kampung Jembatan Gantung dahulu kukira seorang remaja, sehingga bukan dirinya tetapi dirikulah yang harus bersikap sebagai kakak terhadap adiknya; sementara bagi Yan Zi, sepeninggal Elang Merah kedudukanku tentu berubah, ketika tidak lagi menjadi sumber ketakutannya akan kehilangan.

Di balik selimut, segala hal yang mungkin terjadi tak pernah menjadi kenyataan, meski bukan sama sekali tanpa pergolakan. Pada suatu malam aku terbangun dengan tubuh Yan Zi merayapiku sambil mendesahkan ucapan, "Meimei, Memei..."

Tentu Yan Zi mengigau karena merindukan Elang Merah, bukan diriku. Nah, bukankah ini sulit?

Aku tidak mengetahui jalan keluar terbaik selain berpisah, dan kami hanya bisa berpisah setelah berhasil mencuri Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri. (bersambung)
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 1:12 PM
#85 Sudah Waktunya untuk Berpisah? 4.5 5 Unknown September 25, 2014 TANPA pantulan cahaya matahari, Pedang Mata Cahaya memang agak berkurang kemestikaannya, meski tetap saja adalah pedang mestika. Kukira Yan Zi juga mengenal Jurus Selimut Angin ini. Jika tidak, bagaimana ia bisa memperingatkan diriku lebih dahulu? Kuingat bahwa gurunya pun bernama Angin Mendesau Berwajah Hijau. TANPA pantulan cahaya matahari, Pedang Mata Cahaya memang agak berkurang kemestikaannya, meski tetap saja adalah pedang mestika. Kukira Yan ...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak