PEMBACA yang budiman, kita kembali ke Mantyasih di Yavabhumi pada bulan Kartika tahun 872, supaya aku tidak tertinggal oleh perjalanan hidupku sendiri yang masih berlangsung sampai hari ini. Pembaca tentu belum lupa, betapa sejak kadatuan pariraksa atau pengawal istana pilihan dikerahkan untuk meringkusku lebih dari setahun yang lalu di dalam gua, ketika aku tenggelam dalam dhyana tertinggi yang disebut samadhi, mulailah kutuliskan riwayat hidupku yang telah memasuki 101 tahun ini.
Keputusan untuk menulis riwayat hidupku kuambil setelah aku berhasil lolos dari kepungan pasukan kerajaan, dan ternyata masih juga diburu, bukan hanya oleh kadatuan gudha pariraksa atau pengawal rahasia istana, tetapi juga oleh para tikshna atau vetana-ghataka atau pembunuh bayaran maupun para anggota guhyasamayamitra atau perkumpulan rahasia yang setelah puluhan tahun masih saja nyata kehadirannya.
Jika pembunuh bayaran dan anggota perkumpulan rahasia bekerja berdasarkan penugasan, maka yang membuat para pemburu mencari-cari aku tanpa putus seperti lebah mencari madu kuketahui setelah melihat sendiri selebaran lempir lontar bergambar diriku. Di bawah gambar itu dituliskan penawaran atas tertangkap atau terbunuhnya Pandyakira Tan Pangaran atau Pendekar Tanpa Nama, yang tiada lain adalah aku, dengan hadiah 10.000 keping emas.
Hadiah yang begitu besar dan menggiurkan itu sebetulnya merupakan hadiah yang tidak masuk akal. Setelah setahun lebih memikirkannya, aku bahkan ragu apakah dari segenap pelosok Yavabhumipala bisa terkumpul perbendaharaan sebanyak 10.000 keping emas? Bahkan sebagai perbendaharaan negara sekalipun kuragukan Kerajaan Mataram memiliki jumlah keping emas sebanyak itu, dan jika memilikinya pun bukanlah merupakan pertimbangan yang wajar bahwa jumlah sebesar itu menjadi hadiah bagi perburuanku.
Namun, sebagaimana orang awam tidak memahami dunia persilatan, begitu pula para penyoren pedang yang mengarungi rimba hijau dan sungai telaga persilatan, tiada akan paham kerumitan dalam cara berpikir di dunia awam. Bagi mereka adalah sewajarnya jika suatu kerajaan memiliki segalanya, termasuk harta benda 10.000 keping emas yang tidak perlu mereka pertimbangkan berasal dari mana. Bagiku ini menunjuk kepentingan besar atas terbunuhnya diriku yang tidak terjelaskan, karena sebagai orang yang sudah mengundurkan diri ke dalam kegelapan gua selama 25 tahun, dan 25 tahun sebelumnya pun sudah meninggalkan dunia persilatan setelah peristiwa Pembantaian Seratus Pendekar, hubunganku dengan dunia mana pun sesungguhnyalah sudah terputus.
Dalam dunia persilatan dendam adalah alasan kuat perburuan. Tetapi jika tidak terlalu banyak, tiada lagi yang kuingat dengan cukup rinci, jika aku tidak berusaha menuliskannya satu per satu, dari saat ke saat, sampai terjamin tiada satu pun yang lewat. Adapun jika bukan dendam pribadi yang jadi persoalan, dan kenyataan bahwa pasukan kerajaanlah yang secara resmi dikerahkan menangkapku di gua, mungkinkah memang terdapat kesalahan yang pernah kulakukan, yang berhubungan dengan kepentingan kerajaan yang juga merupakan urusan resmi?
Disebutkan dalam lempir lontar bergambar diriku yang bertajuk Burwan atau Buron itu: drohaka ring nagara atau berkhianat terhadap negara. Tidakkah itu sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh? Adapun lanjutannya: patut patyana denta atau pantaslah dibunuh olehmu. Jadi ini bukan sekadar memburu seorang candala dari dunia kalana atau dunia hitam yang sudah banyak membunuh orang, melainkan pengkhianat negara yang jauh lebih besar sebagai perkara. Apa yang telah terjadi setelah 25 tahun kutinggalkan dunia ramai ini?
Dalam penyelidikanku sempat kudengar betapa diriku disebut-sebut sebagai penyebar ajaran vi-patha atau mithyadristi atau viparita-drsti yang tak lain maksudnya adalah pengajaran aliran sesat. Hmm... Ini pun lebih tidak mungkin lagi, karena selama hidup aku tidak pernah mengajarkan apa pun, kepada siapa pun, kecuali kepada anak kecil bernama Nawa yang menjadi tetanggaku, itu pun hanyalah belajar membaca.
Mungkinkah belajar membaca dapat membuat pikiran jadi sesat? Tergantung dari apakah kiranya yang akan dianggap sebagai sesat itu! Belajar membaca, membuat cara berpikir seseorang berbeda dari orang-orang yang tidak bisa membaca, maupun dari orang-orang yang sebetulnya bisa membaca, tetapi sama sekali tidak pernah membaca!
Namun dalam hal Nawa, aku hanya mengajarinya membaca aksara, bukan makna di balik kata. Tidak mungkinlah menuduhku mengajarkan pemikiran aliran sesat karenanya! (bersambung)
#102 20: Apakah Rahasia Sudah Terbuka?
October 12, 2014 in Bagian 20
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak