Ini lebih tidak bisa kupahami lagi karena semenjak Pembantaian Seratus Pendekar sekitar 50 tahun lalu, aku selalu menghindari persinggungan dengan dunia persilatan sama sekali.
Semoga Kama menerima candi persembahanku
bila daku mencari dan mengejar keindahan
pada ujung alat tulisku 1
Setelah mengalami berbagai macam kejadian sejak keluar dari gua, yang sangat berguna bagiku untuk mengenal kembali dunia, antara lain telanjur minum ramuan yang dimaksudkan untuk menghapus ingatan, kuputuskan menulis riwayat hidup ini. Seperti telah kusebutkan, aku menuliskannya bukan demi riwayat itu sendiri, melainkan demi melacak kebersalahan seandainya memang kulakukan. Setidaknya dapat kutemukan sekadar penyebab mengapa pada hari tuaku aku harus menjadi buronan begini rupa.
Dua perkara membuatku ragu selama menuliskannya. Pertama, diriku telanjur minum seteguk dari ramuan penghapus ingatan, yang diberikan oleh seorang rogajna atau tabib muda sebagai tugas rahasia, katanya karena menurut yang memberi perintah, "Ingatan beliau sangat berbahaya..." Kedua, apakah jaminannya bahwa ingatan seorang tua yang sudah 100 tahun umurnya terhindar dari ketidakseimbangan ingatan sebagaimana lazimnya?
Namun, ketika aku sudah bertekad menuliskannya pun berbagai gangguan datang bagai tiada habisnya, sehingga setelah mengguratkan pengutik pada lempir lontar selama setahun lebih, artinya umurku menjadi 101, riwayat yang tertulis baru sampai ketika hidupku memasuki umur 26. Ya, itulah saat aku berada di rantau orang di Chang'an. Aku sudah berusaha mencari tempat tersembunyi, hidup tanpa menarik perhatian, bahkan nyaris tidak pernah keluar gubuk sama sekali, tetapi selalu ada saja guptagati atau mata-mata yang berhasil mengendus keberadaanku.
Tidak cukup petugas rahasia istana, tetapi juga pembunuh bayaran dan pemburu hadiah, yang membawa-bawa gambarku pada lempir lontar itu di balik bajunya, berkeliaran melepaskan senjata-senjata rahasia mereka yang beracun. Setelah itu masih datang pula yang mengaku ingin menjadi murid maupun para pencuri kitab, yang barangkali saja mengira bahwa gulungan keropak lempir lontar bertumpuk-tumpuk itu adalah kitab ilmu silat!
Inilah yang kuperhitungkan terakhir kali, ketika memburu bayangan berkelebat yang ternyata hanyalah bayang-bayang tanpa tubuh yang memegang golok hitam kiriman tukang sihir, yang berhasil kutiup kembali untuk membunuh pengirimnya sendiri!
Masih membopong mayat seorang pendekar tangguh yang terpaksa kubunuh dalam pertukaran jurus dalam kecepatan yang sangat tinggi, mungkin saja hanyalah seorang pendekar golongan merdeka yang tak sabar menunggu untuk menantangku bertarung, kuingat gubukku yang terbuka dengan gulungan lontar bertumpuk-tumpuk di dalamnya.
Setelah kugeletakkan tubuh tak bernyawa di bawah pohon itu, sehingga tampak seperti orang tertidur, aku berkelebat.
Dengan kecepatan pikiran, dengan Ilmu Naga Berlari di Atas Langit kujejak kehitaman malam dan melesat ke pondokku.
Aku terkesiap melihat penduduk sekitar sudah bangun semua dan berkerumun di luar gubukku. Mereka ternganga melihat bekas pertarungan, yakni jejak panjang dan dalam, bahkan nyaris sedalam parit yang memanjang dari gubukku sampai terhenti pada dasar bangunan salah satu rumah di pekarangan. Itulah akibat daya pukulanku yang mematikan, yang hanya mungkin terjadi karena lawan yang kuhadapi ilmu silatnya sangat tinggi.
Rumah tetanggaku itu berubah bentuk, meskipun tidak sampai ambruk, tetapi mengapa mereka berkerumun di luar gubukku? Apakah semua gulungan keropak itu sudah hilang dan seluruh pekerjaanku menjelma kesia-siaan? Aku telanjur terlihat oleh mereka, tak bisa begitu saja berkelebat menghilang, kalau tidak ingin menimbulkan kecurigaan. Aku harus bersikap seperti orang awam.
"Kakek! Dari mana saja kamu? Kami semua dari tadi mencari-cari!"
Aku berjalan perlahan-lahan seperti sakit dan seperti lemas sekali.
"Dari tadi aku di kali. Ada apa?"
"Ada keributan tadi di sini, waktu kami keluar, ada orang tertangkap tangan keluar dari gubuk mengangkut barang-barang milikmu."
Tertangkap tangan artinya tertangkap basah, dan jika dapat tertangkap dengan cara seperti itu tentulah ia seorang pencuri biasa, bukan pencuri kitab ilmu silat untuk diperjualbelikan dalam dunia persilatan, yang bisa bergerak menghilang dalam kegelapan begitu terdapat sedikit saja ancaman. (bersambung).
1 Dipinjam dari tulisan Jawa Kuna, Narakawijaya, melalui P.J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), h. 217. Menurut Zoetmulder kemungkinan berasal dari Bali pada tahun 1400an, h. 136
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak