#104 Mata yang Mencorong dalam Gelap

October 14, 2014   

NAMUN pencuri biasa mengincar barang-barang berharga di rumah orang kaya. Apa yang dilakukan seorang pencuri di rumah gubuk seorang tua, yang bahkan tidak memiliki gubuk itu, dan nyaris tidak memiliki apa pun sebagai harta benda selain alat-alat tulis seperti tanah dan karas maupun lempir-lempir lontar yang masih kosong?

Lelaki yang diduga bermaksud mencuri itu tampak berdiri kebingungan dalam kerumunan para tetangga. Gulungan keropak hasil tulisanku bertahun-tahun terserak di lantai, seperti dilepasnya karena tiba-tiba dipergoki sedang membawanya keluar dari bilikku, dan terkejut karena begitu banyak orang sudah mencegatnya.

Aku berpikir cepat. Jika dia seorang pemburu hadiah atau pembunuh bayaran, pastilah dengan cepat ia berkelebat menghilang, dan akan sama cepatnya pula jika ia seorang pencuri kitab yang sangat menguasai cara menyusup dan menghilang.

Tampak seorang tetangga mengangkat alu seperti siap memukul kepalanya.

"Dasar maling!" teriaknya.

"Tunggu!" kataku.

Alunya berhenti di udara.
"Maaf, dia memang orang suruhan yang mencari diriku."

"Orang suruhan?"

"Ya, dia harus berangkat pagi-pagi ke Banon mengantar pesanan surat."

Aku sendiri tidak mengira akan memberikan jawaban seperti itu. Namun aku merasa, selain lelaki itu tidak tampak seperti orang jahat, kehadirannya pasti akan mengungkap sesuatu. Maka kuanggap menyelamatkan nyawanya akan sangat berguna untuk menambah pengetahuanku yang terbatas atas segala sesuatu yang berhubungan dengan perburuan diriku.

Selama aku tinggal di dalam pura ini, sebagai orang yang tampak terus-menerus menulis, dan hampir tidak ada orang yang bisa membaca atau menulis di sekitarku, pernah juga aku diminta menulis surat untuk disampaikan ke tempat-tempat yang jauh. Meskipun itu tidak merupakan sesuatu yang biasa dilakukan, aku menuliskannya juga. Aku tahu mereka tidak mungkin meminta tolong kepada para kawi, yang semuanya bekerja demi kepentingan istana, dan pernah kudengar sedang menerjemahkan mahakavya berjudul Ravanavadha yang berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa 1.

Ada kalanya pesan-pesan pada lempir lontar itu dituliskan karena kepentingan yang mendesak, bahkan pernah juga cukup darurat, sehingga penulisan dan pengiriman perlu dilakukan segera, meskipun pada malam buta. Dengan terdapatnya kenyataan seperti itu, kuakui itu membuat diriku sekarang cukup beruntung. Namun apa penjelasannya bahwa lelaki itu tertangkap basah sedang membawa gulungan-gulungan keropak yang sekarang bertebaran itu?

"Kamu sangat terlambat. Aku menantimu sejak sore. Di mana kudamu? Apa yang terjadi? Apakah macarita bhimakumara 2 itu jadi dipercepat? Aku masih harus menambahkan beberapa pupuh tentang dharma. Tolong bantu aku membawa masuk gulungan-gulungan keropak ini."

Sambil mengucapkan kata-kata seperti itu, aku melangkah sambil memungut segulung yang jatuh dari tangan kanannya, sedang yang jatuh dari pegangan tangan kiri kuberikan kepadanya.

"Mari masuk! Jangan lebih lama lagi kamu ganggu mimpi indah tetangga-tetanggaku!"

Kucengkeram lengannya pada otot yang akan membuatnya tidak bisa berbicara untuk sementara. Namun yang lebih kutakutkan terutama bukanlah dirinya, melainkan jika ada seseorang yang lain, yang tidak kuketahui, tidak dapat kuukur dan tidak dapat kunilai, di balik kerumunan itu.

Sekilas kulihat mata para tetangga yang seharusnya masih tidur nyenyak itu, sebagian tidak mengerti, sebagian seperti akan curiga, tetapi sebagian besar setengah tertidur. Kubalikkan tubuhku dan menjura.

"Maafkanlah orang tua bodoh yang selalu mengganggu ketenangan ini, semoga tiada lagi gangguan untuk malam ini, esok hari, dan seterusnya sampai akhir hari nanti."

Dengan seluruh kepura-puraanku kuharap orang-orang menganggap tindakan lelaki itu, mengangkat gulungan-gulungan keropak yang kemudian dipergoki, adalah sesuatu yang wajar. Meskipun itu tidak dapat diharap akan mengelabui siapa pun yang bukan hanya teliti, tetapi sudah lama mencurigai!

Hanya oleh sebuah firasat kusapu kembali mata orang-orang yang memandang untuk terakhir kalinya, sebelum aku melenyapkan diriku kembali dan masuk ke dalam gubukku. Maka bumi pun bagai berhenti beredar dan waktu berhenti ketika dari kegelapan itu mencoronglah sepasang mata yang merah...

Bumi tak beredar dan waktu berhenti. Segalanya berhenti kecuali kami yang berseteru dengan cara saling menatap dalam pertarungan antara tatapan sihir dan tatapan yang menolak sihir itu. (bersambung)


1 Pada abad ke-9 studi bahasa dan sastra Sanskerta masih dilakukan dengan giat di Jawa Tengah, dan Ramayana dan Mahabharata dikenal secara luas, seperti dituliskan dalam prasasti Sangsang yang dikeluarkan atas nama Raja Balitung pada 907. Namun suatu perbandingan dengan berbagai versinya di India menunjukkan bahwa sumber Ramayana bukanlah gubahan Valmiki, melainkan Ravanavadha yang digubah Bhatti pada abad ke-6 atau ke-7, sehingga juga disebut Bhattikavya. Padahal Bhatti menuliskannya sebagai contoh peraturan tatabahasa dan alangkara (hiasan puisi) yang kompleks. Tentu ini berhubungan dengan semangat pembelajaran bahasa Sanskerta masa itu. Tengok S. Supomo, ''Men-Jawa-kan Mahabharata" dalam Henri Chambert-Loir, Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, h. 933-46.

2 Macarita bhimakumara = Pembacaan cerita Bhima Kumara (Jw. Kuna), salah satu dari acara hiburan yang disebut dalam prasasti Sangsang untuk meresmikan beberapa desa menjadi sima (bebas pajak) karena digunakan sebagai biara di Hujung Galuh dan Dalinan. Ibid., h. 934
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 2:59 PM
#104 Mata yang Mencorong dalam Gelap 4.5 5 Unknown October 14, 2014 Aku tahu mereka tidak mungkin meminta tolong kepada para kawi, yang semuanya bekerja demi kepentingan istana, dan pernah kudengar sedang menerjemahkan mahakavya berjudul Ravanavadha yang berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa. NAMUN pencuri biasa mengincar barang-barang berharga di rumah orang kaya. Apa yang dilakukan seorang pencuri di rumah gubuk seorang tua, yan...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak