Salah satu dari tiga kemungkinan itu akan berlangsung terhadap diriku jika saja aku tak berhasil menahan cahaya itu hanya selebar ketebalan satu jari di depan sepasang mataku. Sihir adalah jenis ilmu yang sulit dijelaskan, tetapi dapat dilawan dengan mudah jika mampu memusatkan perhatian, dan itulah yang kulakukan karena sihir adalah suatu permainan yang mengandalkan pengalihan perhatian.
Kami diam bertatapan dalam gelap mata kami terhubungkan oleh cahaya, tetapi cahaya merah lurus di depan mataku itu tertahan hanya satu jari di depan mataku oleh cahaya biru lurus yang melesat dari sepasang mataku. Semula hanya bertahan, tetapi dengan lambat dan pasti mendesak cahaya lurus merah itu, sampai mendekati sepasang mata yang melesatkan Sihir Mata Api.
Sayang sekali aku tidak bisa melihat wajahnya karena kegelapan di sekitar mata itu. Hanya semacam kerudung menutupi kepalanya, selebihnya hanya kegelapan dan sepasang mata yang merah menyala. Cahaya biru dari mataku mendesak cahaya lurus Sihir Mata Api itu kembali kepada yang telah melesatkannya. Semakin dekat, mendekat, dan mendekat...
Ia tak akan bisa lari karena Sihir Mata Api itu sudah terkunci oleh Jurus Bayangan Cermin, yang bekerja dengan sendirinya menghadapi serangan macam apa pun, mengembalikan jurusnya dengan cara yang tidak lagi dikenal, bahkan oleh pemilik jurus itu sendiri.
Cahaya biru itu tinggal seujung jari dari mata merah yang melesatkan Sihir Mata Api. Aku tidak ingin membunuhnya, tetapi sulit sekali menahan laju cahaya jika sudah sedekat itu di luar ruang-waktu yang berlaku. Cahaya biru yang merupakan suhu api terpanas tak tertahan lagi oleh cahaya merah itu. Dalam kegelapan sepasang mata merah berubah menjadi nyala api, lantas seluruh sosok tubuhnya berkobar, meledak tanpa suara dengan semburat cahaya menyilaukan yang membuat segalanya lebih terang daripada siang, sekilas, untuk menyuruk ke dalam kegelapan bumi yang bergerak kembali.
Tiada seorang pun di sini menyadari telah berlangsungnya pertarungan antara hidup dan mati.
Yoga-dasar membayangkan deva di angkasa
Yoga-menengah membayangkan deva dalam badan
Yoga-akhir membayangkan deva dalam mandala tanah
Yoga-dalam membayangkan deva dalam mandala ketiadaan 1
Ayam jantan sudah berkokok tetapi hari masih gelap. Tentu ayam jantan ini sudah melihat cahaya merah yang tak dapat dilihat mata manusia itu, yang mendahului cahaya sebelum matahari muncul dari balik cakrawala. Para tetangga yang tadi terbangun sebelum waktunya kukira berusaha menggantinya dengan segala usaha agar tetap bisa menjalankan pekerjaan mereka pada saat tanah menjadi terang.
Terhadap lelaki ini aku belum merasa pasti, apakah berasal dari dunia persilatan ataukah dari dunia awam sehari-hari. Dia sendiri dari caranya melangkah tampak tidak menguasai ilmu silat, tetapi kukira hanya dunia persilatan yang sungguh berurusan dengan diriku. Dari manakah datangnya orang ini, yang pada malam buta bisa begitu saja masuk ke gubuk dan keluar lagi membawa gulungan keropak milikku itu?
Orang itu, seorang lelaki muda yang berkancut hitam dan mengikat rambutnya dengan tali kulit, menyembah-nyembah dengan dahi menyentuh tanah.
''Mohon ampun Mpu! Sahaya diperintahkan mengambil kitab itu secepatnya dengan pemberitahuan bahwa gubuk ini kosong saja..."
Mungkinkah aku memang sengaja dipancing keluar agar gulungan keropak bisa dicuri? Namun mengapa tidak ditugaskan seorang penyusup yang mampu berkelebat secepat angin dan tidak begitu mudah dipergoki? (bersambung)
1 Melalui uraian dalam kitab Sanghyang Kamahayanikan, yang meskipun disebut lebih menekankan ajaran Mahayana daripada Tantrayana, tetap disebut mendukung Tantrayana, dan juga menjelaskan berbagai ajaran rahasia di dalamnya. Tengok Noerhadi Magetsari, Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya (1997), h. 35-6, 203.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak