"Mohon ampun!"
Tubuhnya bergetar. Dari pengalaman, aku harus siap untuk dua kemungkinan, apakah akan ada senjata rahasia melesat untuk membunuhnya, atau dia membunuh dirinya sendiri. Kusiapkan diriku agar kedua hal itu tidak terjadi, bahkan kukira akan bisa kubekuk pelempar senjata rahasia itu, meski perhitunganku ini masih meninggalkan pertanyaan tak terjawab: mengapa orang awam yang bahkan sama sekali tidak mengendap-endap ini yang ditugaskan mengambilnya?
"Dikatakan bahwa Mpu telah selesai menulis parwa 1 dan bisa diambil."
"Aku bukan seorang mpu," kataku kepada lelaki yang kepalanya masih menyentuh lantai tanah itu, "mengapa aku dikira sedang menulis suatu parwa?"
"Saya hanya kebetulan mendengar mereka berbicara, mereka tidak pasti apakah sebetulnya yang sedang ditulis, apakah suatu parwa ataukah ajaran guhya."
"Kalian mendengar tentang seseorang yang sedang menulis terus-menerus dan ada juga yang mengira ini sebuah ajaran rahasia?"
"Mohon ampun!"
"Dalam pengetahuanmu siapakah diriku yang mereka awasi itu?"
"Mohon ampun!"
"Dikau lupa atau melupakan diri? Aku bisa menotokmu agar tak bisa berbicara maupun lupa selamanya, mana yang lebih kamu suka?"
"Mohon ampun!"
"Baiklah jika dikau lebih berbahagia untuk tidak mengetahui sesuatu pun tentang dirimu sendiri seperti orang gila."
"Mohon ampun!"
***
Pembaca yang Budiman, aku pun memohonkan pengampunan dari Pembaca, karena sudah waktunya kembali ke Chang'an pada 797, pada malam ketika aku menyusup ke balik tembok Istana Daming, mencari tahu di manakah kiranya Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri yang dicuri itu disimpan.
***
Kedua orang itu masih bercakap dalam kegelapan. Perempuan itu masih mengurut punggung lelaki yang mungkin saja seorang panglima pasukan. Tombaknya masih tertancap di tanah di dekat Kipas Sakti. Lelaki itu tampak beranjak seperti akan turun mengambil tombaknya.
Tangan Kipas Sakti sudah berada di balik baju, siap mengambil senjata rahasia. Aku menatapnya dan menggeleng. Kipas Sakti mengeluarkan lagi tangannya.
Orang itu tidak jadi turun, karena perempuan yang mengurut punggung dan memeluk dari belakang itu menyorongkan gelas ke mulutnya.
"Hmmh! Aku tidak takut! Coba saja berani menangkapku! Kamilah yang bertempur antara hidup dan mati di perbatasan demi kenyamanan di balik tembok istana ini, bukan kalian yang sibuk berpesta tiap hari! Rasanya ingin kucekik pangeran bodoh itu!"
"Sabarlah Kakak, minumlah dulu arak ini, supaya turun darahmu yang naik ke kepala itu."
Suara halus perempuan itu rupanya berpengaruh. Lelaki yang sedang marah-marah itu diam dan menenggak arak dari tempat minum tersebut. Tak hanya minum, ia membalikkan badannya, lantas seperti berusaha mencium bibir perempuan itu, yang dengan segera menjauhkan diri dan mendorong tubuh orang itu agar berjarak.
"Jangan sekarang, Kakak."
Lelaki yang tampak kesal itu membuang tempat minumnya, lagi-lagi ke tempat Kipas Sakti di balik semak.
Terdengar suara tempat minum pecah berkerosak menembus semak.
"Hhhhh! Hanya untuk sebuah pedang aku harus meninggalkan pasukanku!"
Ia terdengar menggerutu lagi.
"Kakak, janganlah menggerutu, pikirkan apa yang bisa dilakukan dengan pedang itu."
"Ah, segala pedang mestika! Aku seorang tentara, seorang prajurit, hidupku berbakti untuk negeri, bukan seorang pendekar dari dunia persilatan yang hanya peduli akan kesempurnaan dirinya sendiri."
"Itulah soalnya Kakak, dengan pedang itu Kakak bisa berbakti lebih tuntas kepada bangsa dan negara."
"Bagaimana caranya? Semua orang bilang pedang itu begitu berat sehingga tidak bisa diangkat."
Aku dan Yan Zi berpandangan. Mereka berbicara tentang Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri yang sedang kami cari!
"Memang benar demikianlah kata orang Kakak, tetapi pedang itu akan menjadi ringan apabila tersentuh oleh pedang pasangannya."
Yan Zi menatapku, matanya tampak menyala.
Dalam ketegangan, udara dingin, dan angin menderu-deru, aku mencoba berpikir jernih. Sementara keduanya terus melaju dengan percakapan mereka.
"Hmmhh! Sisa pertengkaran lama, masih juga menjadi masalah sampai hari ini."
"Oh, jangan salah Kakak, jumlah mata-mata yang tertangkap bekerja untuk keluarga Yan Guifei dari Shannan selama sepuluh tahun terakhir ini sampai dua kali lipat mata-mata Tibet, Uighur, maupun Golongan Murni jika dijadikan satu." (bersambung)
1 Dalam kegiatan penerjemahan kitab-kitab berbahasa Sansekerta ke bahasa Jawa Kuna, baik parvan (bagian dari Mahabharata) maupun kanda (bagian dari Ramayana), keduanya disebut parwa. Soepomo dalam Chambert-Loir, op.cit., h. 935.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak