Jagal Maut yang agaknya kesal dengan ketenanganku, telah menggenggam kapak di tangannya, dan mengayunkannya ke arahku.
"Atau diriku saja mencincangmu sekarang!"
Aku bermaksud pura-pura terpeleset, karena tampaknya tiada seorang pun seperti mengenali kami, tetapi mendadak suatu angin pukulan membuat Jagal Maut terpental dengan darah segar di mulutnya.
"Jagal Maut memang diundang untuk membantu, tapi itu tidak berarti dia boleh menjalankan hukum tanpa pengadilan dengan tangannya sendiri!"
Kulihat seorang perwira pengawal rahasia menyibak barisan.
"Bawa mereka!" Ia berteriak, "Kita belum tahu kesalahan apa yang membuat mereka layak dibunuh. Biarlah besok pagi Harimau Perang memeriksa mereka."
Ah, Harimau Perang!
Yan Zi yang juga mendengarnya tampak tertegun. Segalanya kini menjadi baru.
Jagal Maut bangkit sambil meludahkan darah di mulutnya, ia menyapu darah di mulut dengan punggung tangan.
"Jagal Maut tidak datang untuk menerima penghinaan."
Ia menunjuk perwira itu dengan senjata kapaknya. Pedang milik Yan Zi dibuang begitu saja ke tanah dan seorang pengawal memungutnya. Tentu kuperhatikan apakah ia juga akan membukanya dan ternyata memang tidak. Yan Zi juga memandanginya dengan sikap seperti akan melesat merebutnya kembali.
"Sabar," kataku melalui Ilmu Bisikan Sukma, "pedang itu tidak akan jauh darimu. Sekarang biarlah kita mengikuti arus dahulu."
Jagal Maut melanjutkan kata-katanya.
"Jika bukan kamu, akulah yang harus mati malam ini."
Perwira itu tersenyum sambil melepas pedang dalam sarung yang tergantung di pinggangnya.
"Tidak perlu mati, Jagal, cukup sampai dirimu setengah mati."
Jagal pun membuang kapannya.
"Baiklah Panglima Zhen, aku percaya kamu seorang yang jantan."
Bahasa seperti itu sudah terbiasa kudengar selama berada di Negeri Atap Langit. Namun yang pertama kali kudengar adalah jawabannya.
"Huahahahaha! Jagal Maut! Sudah lama kejantanan tidak kuperlukan lagi! Huahahahahaha!"
Ah! Orang yang disebut Panglima Zhen itu seorang kebiri!
Mereka siap bertarung tanpa senjata mereka masing-masing. Namun sebelumnya Panglima Zhen melambaikan tangan, tanda bahwa kami harus dibawa pergi. Limapuluh orang segera menggelandang kami bertiga. Limapuluh orang harus berjaga menyaksikan pertarungan antara Panglima Zhen dan Jagal Maut.
Aku merasa beruntung ketika mendengar Harimau Perang akan memeriksa kami. Bukan sekadar karena dia sudah lama kucari, tetapi juga bersama dengan itu kami akan mengetahui apakah yang sedang dikerjakannya di sini.
***
Sebelum dibawa mata kami ditutup dengan kain hitam yang diikatkan. Yan Zi tentu mengerti bahwa dengan Ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, penutupan itu tidak berarti banyak bagiku. Namun Kipas Sakti pun sepintas kulihat tak tampak panik sama sekali. Aku sendiri tak tahu harus bersedih atau bersyukur dengan tertangkapnya kami bertiga, karena untuk pertama kalinya kini aku bertemu langsung dengan Harimau Perang. Bukankah terutama hanya karena nama itu aku terseret memburunya sampai Negeri Atap Langit ini? Sempat begitu dekat dalam pengintaian di lautan kelabu gunung batu, nasib belum juga mempertemukan kami.
Jika kami bertemu, apakah kiranya yang bisa dibicarakan? Jika bukan dirinya yang menewaskan Amrita Vighnesvara, kesalahan apakah yang bisa ditimpakan untuk menewaskanya? Sebagai kepala gabungan mata-mata pasukan pemberontak yang membangkang terhadap pemerintahan Daerah Perlindungan An Nam, yang berada di bawah pengaruh Wangsa Tang, kesalahannya jelas tidak dapat diampuni. Pengepungan Kota Thang-long yang cukup lama menjadi sia-sia ketika segala rahasia dalam siasat tempur diungkapnya kepada pihak lawan. Namun jika keputusan untuk menyeberang dan mengkhianati para pemberontak adalah pilihan yang berani, hal yang sama tidak bisa dikatakan orang-orang yang membokong Amrita. Itu adalah perbuatan yang bahkan oleh pihak yang sama pun bisa dihukum. (bersambung)
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak