"Maka kuketahui bahwa ia hanyalah ingin menjadi pendekar paling unggul di dunia persilatan dengan segala cara, bila perlu menjalin kerja sama dengan golongan hitam pula. Pernah aku dengar dia diterima sebagai pengawal kepala pasukan pemberontak Yang Mulia Paduka Bayang-Bayang, tapi kutahu ia hanya mencari peluang yang menguntungkan dirinya sendiri saja.
"Aku tahu bagaimana dia bersekongkol dengan Sepasang Rubah dari Sungai Kuning yang kejam untuk berbagi senjata-senjata mestika dari gudang senjata, berdasarkan keterangan yang diharapkannya dariku. Aku mencuri dengar rencana mereka bahwa sebagai sandera ia berharap akan dibebaskan pihak-pihak yang bekerja sama dengan kalian, karena meskipun ia telah mengetahui sentuhan Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan akan membuat pedang untuk tangan kiri ringan, ia tak tahu di mana letaknya, meski tetap mengiranya di gudang senjata.
"Yang tak pernah diduganya tentu bahwa yang akan menemui kalian adalah diriku, yang ternyata tidak membebaskan maupun berbagi keterangan tentang senjata mestika melainkan membunuhnya. Ia berencana merebut Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri begitu menyentuhnya, dan dengan dua pedang membinasakan kalian berdua. Untuk menutupi rencana ini bahkan ia membunuh para pengawal golongan hitam yang menunjukkan gelagat mengenal, tapi tak tahu-menahu tentang rencana-rencananya.
"Sengaja aku tunggu pengawal yang juga berasal dari golongan hitam memberikan pedang itu. Pengawal itu kuberi Totokan Lupa Peristiwa, tetapi muridku yang telah membunuh terlalu banyak orang dengan ilmuku ini sangat berbahaya jika hidup lebih lama. Dengan sedih dan terpaksa kutotok dia dengan Totokan Pelepas Nyawa."
Kami berdua terpaku dengan ceritanya yang panjang tetapi sangat cepat itu. Setelah menyimpan kipasnya, ia melejit ke dalam kegelapan malam.
"Ikutilah aku jika kalian ingin tahu di mana pedang itu."
Kipas Maut, begitulah namanya, melejit dan meniti udara seolah-olah memang ada yang diinjaknya, meskipun hanya ada udara saja dalam kelam malam tanpa bintang, yang sengaja dipilih sebagai saat malam penyusupan.
***
Dari Balai Pikiran yang Jernih kami terbang melewati Gedung Han Liang atau Gedung yang Berisi Kesejukan, kami lewati pengawal-pengawal berjaga yang seperti tak tahu apa yang terjadi pada bagian lain istana karena luasnya Istana Daming ini, nyaris bagaikan sebuah kota tersendiri.
Seperti bersepakat, kami bertiga berlindung di balik layar kegelapan, melebur dalam segala kekelaman, dan meringankan tubuh kami sampai seringan daun, sehingga hanya dengan membiarkan diri terbawa angin saja tibalah kami di Balai Zi Lan atau Balai Anggrek Merah.
Kami mengikuti Kipas Maut yang mendarat di tangga seperti burung bangau mendarat, dan kami pun mendarat di tangga seperti burung bangau mendarat.
Sembilan perempuan pengawal berbusana ringkas serbamerah siaga dengan pedang terhunus di tangga teratas. Ternyata semua pengawal di sini adalah perempuan, dan semua perempuan pengawal itu berbusana merah. Untuk selintas aku teringat Elang Merah dan tentu begitu Yan Zi.
"Siapa kalian? Pastilah tamu tak diundang, datang dari balik kegelapan malam tanpa pemberitahuan."
Kipas Maut menjura dengan sopan.
"Sampaikan kepada Putri Anggrek Merah, malam ini Kipas Maut datang sesuai perjanjian."
Salah seorang perempuan pengawal itu tertawa perlahan.
"Apakah pendekar berbusana hitam yang menyebut dirinya Kipas Maut itu merasa bahwa dengan mengucapkan kata-kata seperti itu lantas baginya pintu terbuka dengan sendirinya?"
Seperti tersinggung, Kipas Maut menjawab, "Kipas Maut telah mengatakan yang sebenarnya, tetapi janganlah kiranya aku disebut Kipas Maut jika tak mampu membuka pintu mana pun dengan paksa!"
Sambil berkata seperti itu Kipas Maut mengeluarkan kipasnya, mengembangkannya seperti bulu seekor merak, yang segera disambut kepungan ketat terhadap kami bertiga, yang tanpa saling bicara telah dengan sendirinya saling beradu punggung menghadapi kepungan dalam tata lingkaran seperti itu.
Ternyata selain sembilan perempuan pengawal berbusana serbamerah yang mengacungkan pedang di tangga teratas itu, masih lebih banyak lagi perempuan pengawal berbusana serbamerah di belakang kami.
Kami bertiga benar-benar terkepung. Sebagai pengawal istana mereka tahu benar cara mengepung penyusup agar tidak bisa lolos. (bersambung)
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak