AKU belum sempat berpikir lebih jauh, ketika dari balik pintu gerbang terdengar suara yang halus dan mencairkan ketegangan yang sudah memuncak.
"Sssshhhh.... Mereka itu tamuku, biarkan mereka masuk."
Lingkaran pengawal yang tadi tertutup kini terbuka, dan yang semula maksudnya mengepung kini mengawal. Seperti yang telah kusaksikan, mereka sangat terlatih. Terlihat dengan jelas bahwa secara berkelompok maupun berhadapan satu lawan satu, tingkat ilmu silat para perempuan pengawal ini jauh lebih tinggi dibanding ilmu silat para pengawal yang telah kami hadapi. Seperti menegaskan keberadaan perempuan sebagai pengawal, bahwa perbedaan mereka bukanlah pada jenis kelamin, melainkan terutama pada tingginya ilmu silat yang mereka miliki.
Kami dikawal masuk ke balik pintu gerbang. Ternyata masih terdapat jarak antara pintu gerbang dan pintu masuk ke dalam Balai Anggrek Merah. Sedangkan suara halus tadi terdengar bagaikan dekat-dekat saja. Hanya tenaga dalam tingkat tinggi saja yang mampu membuatnya seperti itu.
"Kipas Maut, utusan Ibu Pao..."
Di ruang dalam, di balik pingfeng atau layar penghalang pandangan, dalam kesuraman cahaya lilin, terlihat bayang-bayang seorang perempuan dengan rambut disanggul tinggi yang sedang menyulam. Dibanding angin yang tiada henti-hentinya menderu di luar, ruangan ini sangat tenang. Kipas Maut pun menjura.
"Putri Anggrek Merah, Kipas Maut datang bersama kawan-kawan Ibu Pao. Mereka siap mendengarkan keterangan mengenai keberadaan Pedang Mata Cahaya untuk tangan kiri."
Terdengar suara desah dari helaan napas panjang.
"Pedang Mata Cahaya memang bukan sembarang pedang. Sudah lama sekali disimpan oleh pemiliknya tanpa pernah digunakan karena memang tak pernah diperlukan, lantas diwariskan turun-temurun tanpa kejelasan akan gunanya. Semula merupakan pusaka keluarga saja, tetapi semenjak kekacauan yang mengharu biru itu sepasang pedang tersebut terpisahkan, dan rupanya yang untuk tangan kanan lantas terpakai untuk pertarungan, yang membuat kewaspadaan meningkat."
Ia berhenti, dan tiba-tiba bertanya.
"Jadi kamu bayi itu? Bayi yang sejak lahir dibuntal jadi satu dengan Pedang Mata Cahaya untuk tangan kanan?"
Yan Zi pun menjura.
"Demikianlah yang saya dengar, Putri Anggrek Merah."
"Aku pun hanya mendengar ceritanya, Pendekar Yan Zi Si Walet."
Masih kulihat bayang-bayang tangan yang menyulam itu. Kuperkirakan ia jauh lebih muda dari Yan Zi, tetapi perbedaan seperti membuat sikapnya jauh lebih tua. Apakah Putri Anggrek Merah ini termasuk putri bangsawan yang menjadi anak asuh Ibu Pao? Seorang putri bangsawan yang menjual dirinya, mungkinkah hanya untuk uang dan harta benda, dan bukannya untuk kekuasaan pula, apa pun bentuknya?
"Ibu Pao bercerita tentang siapa dirimu," lanjutnya, "Jadi dikau bukan sekadar penyoren pedang yang memburu kejayaan di sungai telaga, urusan pedang ini bagimu adalah masalah keluarga, menjadi hakmu pula."
"Begitulah yang saya dengar dari guru Angin Mendesau Berwajah Hijau," sahut Yan Zi.
"Itu pernah menjadi desas-desus yang santer, termasuk bahwa cerita itu barangkali memang hanya desas-desus. Asal tahu saja Pendekar, segala sesuatu mengenai Putri Yang Guifei akan menjadi cerita yang seru dan jika perlu ditambah segala sesuatu di sana sini, demi kepentingan yang belum tentu bisa diketahui."
"Saya mengerti, Putri..."
"Aku hanya kebetulan mendengar, banyak senjata dipindah-pindahkan setelah pengumuman pelelangan itu. Tampaknya untuk memisah-misahkan antara yang akan dilelang dan yang tetap disimpan."
Kami bertiga masih terus mendengarkan.
"Suatu malam kudengar suara peti beroda yang didorong banyak orang. Rupanya karena yang diangkut itu memang berat sekali. Angin tidak terlalu kencang, jadi kudengar percakapan orang-orang yang mendorongnya.
'Bukan main beratnya peti ini! Apa isinya?'
'Kita memindahkan barang dari gudang senjata mestika, tentunya ini salah satu mestika itu.'
'Mau dibawa ke mana?'
'Ke Bukit Penglai itu.'
'Bukit Penglai di seberang itu? Ya, untuk disimpan di dalam gedung yang ada di sana.'
'Kalian tentu telah mempelajarinya bukan? Di depan sana terdapat Kolam Taiye, tempat maharaja suka berperahu dan tetirah di dalam gedung yang ada di situ?'
Kipas Maut kali ini yang menjawabnya.
"Kami mengetahuinya, Putri."
"Bagus," kata Putri Anggrek Merah, "tapi bukan di sana pedang yang kalian cari itu disimpan."
Kami bertiga terperangah.
"Dengar dulu lanjutan ceritaku." (bersambung)
#115 Di Balai Anggrek Merah
October 25, 2014 - Posted by Unknown in Bagian 22
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 2:46 PM
#115 Di Balai Anggrek Merah
4.5
5
Unknown
October 25, 2014
KU belum sempat berpikir lebih jauh, ketika dari balik pintu gerbang terdengar suara yang halus dan mencairkan ketegangan yang sudah memuncak. "Sssshhhh.... Mereka itu tamuku, biarkan mereka masuk."
AKU belum sempat berpikir lebih jauh, ketika dari balik pintu gerbang terdengar suara yang halus dan mencairkan ketegangan yang sudah memunc...
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak