#94 Ia Bernama Kipas Sakti

October 4, 2014   

UCAPAN perempuan pendekar bersenjata kipas besi ini adalah titik terang, tetapi hanya setitik, karena tidak menjelaskan bagaimana cara pihaknya tahu betapa Kaki Angin telah berhubungan dengan Harimau Perang.

Seperti dapat menebak apa yang kupikirkan, perempuan pendekar itu berkata lagi.

"Yang Mulia Paduka Bayang-bayang mengetahui segalanya, tetapi Yang Mulia Paduka Bayang-bayang juga memaklumi semuanya."

Dengan jawaban seperti itu kutafsirkan bahwa yang pertama adalah sekadar pemujaan kepada majikannya, sedangkan yang kedua adalah pesan bahwa mereka bisa mengerti betapa kami telah mengambil tindakan sendiri, yang juga berarti kini kami harus bergabung kembali.

"Jadi siapakah kini yang menggantikan Kaki Angin?"

"Yang Mulia Paduka Bayang-bayang menugaskan diriku untuk menemani Pendekar Tanpa Nama dan Pendekar Yan Zi Si Walet dalam tugasnya yang penuh dengan marabahaya."

Aku dan Yan Zi saling melirik. Pendekar bersenjata kipas besi itu tersenyum.

"Tidak usah khawatir, aku tidak perlu satu kamar dengan kalian."

Aku sudah bermaksud menanyakan sesuatu ketika teringat suatu pepatah yang pernah kudengar diucapkan tukang cerita di tepi jalan Chang'an:

Berpikirlah dua kali, setelah itu diam. 1

Kami bersepakat untuk menyusup masuk Istana Daming bertiga, tetapi pencurian Pedang Mata Cahaya tetap harus dilaksanakan saat Chang'an diserang.

"Itu tidak mungkin," kata Yan Zi, "mengepung kota ini dalam beberapa hari."

Perempuan itu tersenyum lagi.

"Pendekar Yan Zi agaknya belum terlalu mengenal Yang Mulia Paduka Bayang-bayang. Baiklah kita menyusup dulu ke dalam istana untuk mengetahui tempat penyimpanan senjata itu, lantas kita lihat apa yang bisa dilakukan kemudian. Tentu tidak perlu mengerahkan seratus ribu tentara jika pedang itu bisa dicuri begitu saja oleh dua orang."

Kami hanya mengangguk. Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan selain menanti saat penyusupan.

"Siapakah nama Andika jika kami harus menyebut nama kepada jaringan rahasia Ibu Pao?"

Tentu, justru dalam jaringan rahasia, segala sesuatu dipersyaratkan untuk dikenal sejelas-jelasnya.

"Meskipun aku tidak menyukainya, dalam dunia persilatan aku disebut Kipas Sakti."

Kami belum pernah mendengar nama itu, mungkin karena ia masih sangat muda, tetapi kukira karena sebagian besar waktunya menjadi pengawal rahasia Yang Mulia Paduka Bayang-bayang. Bukan saja Kipas Sakti lantas tidak pernah lagi mengembara, melainkan juga keberadaan dirinya tidak dapat diperkenalkan seperti para pendekar kelana yang mencari lawan demi kesempurnaan ilmunya. Sama seperti para pengawal rahasia istana yang tentu tinggi ilmunya tetapi lebih mengutamakan pengabdian dalam kerahasiaan daripada mencari nama.

Menjadi pertanyaanku tentunya mengapa seorang pendekar kelana melepaskan kebebasan dan kemerdekaannya untuk menjadi pengawal rahasia bagi pemimpin suatu golongan yang terpinggirkan pula.

Kipas Sakti kini menuju Penginapan Teratai Emas bersama Yan Zi. Aku memisahkan diri menuju rumah Ibu Pao untuk menemui pembantunya yang pandai berpura-pura itu.

"Kami jadi menyusup ke dalam Istana Daming sehari sebelum bulan sepenuhnya mati."

"Baik, akan kusampaikan kepada kawan kita yang akan menemui kalian di anjungan Qing Hui."

Adapun Qing Hui berarti Cahaya Matahari yang Cerah.

"Masih ada satu soal lagi?"

"Apa itu?"

"Kami membawa teman satu lagi."

"Hmm. Menyusup beramai-ramai di Istana Daming bukanlah tindakan yang bijak. Dua saja sebetulnya sudah terlalu banyak. Mengapa harus bertiga?"

Kujelaskan seperlunya tentang siapa Kipas Sakti.

"Hmm, orang-orang Shannan itu masih dianggap buronan karena jaringan keluarga Yan Guifei masih dianggap sebagai duri dalam daging meskipun menurutku itu terlalu berlebihan. Dia boleh saja kalian bawa, tetapi dengan masuk bertiga keselamatan kalian tidak bisa lagi kami jamin."

Aku menghela napas dalam hati. Aku masih cukup muda, tetapi rasanya sudah terlalu banyak menyaksikan tubuh yang ambruk dengan nyawa beterbangan dalam pertarungan.

Teringat betapa sejak kutinggalkan Celah Kledung dan mengembara pada usia 15 tahun, satu per satu nyawa melayang di tanganku. Tentu saja karena jika aku tidak melakukannya nyawaku pun sudah melayang tak jelas ke mana. Namun ada kalanya pelepasan nyawa ini bisa diganti pelumpuhan tubuh saja sebetulnya, tetapi aku tak selalu berhasil melakukannya. Hanya sepuluh tahun kemudian, setelah keluar dari gua, gerakanku cukup memadai untuk menghindari serangan tanpa harus membalasnya - meski serangan mendadak dan kepungan banyak orang terlalu sering membuatku terpaksa menumpahkan darah tanpa sempat memikirkannya... (bersambung)


1 Minick, op.cit., h. 144.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 3:35 PM
#94 Ia Bernama Kipas Sakti 4.5 5 Unknown October 4, 2014 Aku sudah bermaksud menanyakan sesuatu ketika teringat suatu pepatah yang pernah kudengar diucapkan tukang cerita di tepi jalan Chang'an: "Berpikirlah dua kali, setelah itu diam." UCAPAN perempuan pendekar bersenjata kipas besi ini adalah titik terang, tetapi hanya setitik, karena tidak menjelaskan bagaimana cara pihak...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak