#122 Dalam Kegelapan Mendengar Percakapan

November 1, 2014   

"JANGAN," kataku, "hidupmu selama ini di gunung dan belum pernah bertarung di dalam air."

Kuingat pengalamanku bertarung melawan Kera Gila di Yavabhumipala, dan menghadapi Naga Kecil yang bersisik dan lidahnya bercabang seperti ular itu di Sungai Merah. Bertarung di dalam air bagi yang belum terbiasa hanya menimbulkan kepanikan, karena air itu sendiri sudah menjadi lawan sebelum kita menghadapi lawan yang sesungguhnya, apalagi jika lawan itu sudah terbiasa bertarung di dalam air. Kuingat betapa nyawaku bisa saja sudah melayang jika saat itu tidak ada Amrita, yang sebagai murid Naga Bawah Tanah telah menempur saudara seperguruannya itu dengan cara yang sama, yakni melibatnya seperti ular dan menggigit tengkuknya.

Namun kini hanya ada Yan Zi yang harus kulindugi.

"Aku yang masuk, dikau berjaga di sini."

"Tidak, itu pedangku, kita menyelam berdua," kata Yan Zi dengan kekerasan hati yang tampak jelas tidak bisa dihalangi.

Kami menjejakkan kaki, dan terbang kembali menembus malam. Mendekati Kolam Taiye terlihat penjagaan para pengawal cukup ketat, seperti tahu betapa suatu penyusupan akan berlangsung.

Kami pun berhenti di udara sejenak untuk mengamati. Jika ada satu saja pengawal menengok ke atas, hujan panah tentu akan segera merajam kami, tetapi tiada sekalipun terkilas dalam benak para pengawal itu tentunya, betapa terdapat manusia yang dapat mengambang di udara dan mengawasi mereka dari udara.

Mereka terserak, seperti sengaja disebar, yang kukira merupakan cara mengatasi penyusupan, karena kedudukan setiap pengawal yang tidak dipastikan dan terus-menerus bergerak dengan arah tidak terduga.

Namun terdapat ruang kosong dan gelap di dekat Dajiaoguan (Sudut Pemandangan Luas). Tidak lagi berlambat-lambat, ka­mi jejak udara dan berkelebat memasuki ruang gelap amat sangat gelap bagaikan tiada lagi yang bisa lebih gelap sehingga tiada mungkin ada mata yang bisa melihat apa pun yang berada di balik kegelapan itu.

Para pengawal istana, meskipun siaga, tak tampak terlalu waspada, karena bentrokan di depan Balai Anggrek Merah itu cukup jauh. Begitulah luasnya Istana Daming ini. Betapapun aku tidak boleh melupakan bahwa kesiagaan mereka kali ini adalah karena mendapat pemberitahuan. Aku tidak boleh melupakan bahwa ada seseorang, bahkan mungkin juga beberapa orang yang mengetahui semuanya, setidaknya yang telah mencoba membaca keadaan, dan aku belum tahu pasti apakah yang menjadi alasannya sehingga para pengawal istana berkeliaran di sekitar Kolam Taiye dalam keadaan siaga.

Kami masih belum bergerak. Kami mendengar para pengawal yang diatur agar berpasangan itu bercakap-cakap.

"Harimau Perang yang mengatur semua ini masih baru. Katanya ia didatangkan dari Daerah Perlindungan An Nam. Mengapa kekuasaannya bisa begitu besar?"

"Kudengar maharaja ingin melepaskan diri dari jaringan orang-orang kebiri, tapi bagaimana mungkin?"

"Apa salahnya dengan orang-orang kebiri? Dari zaman dulu bukankah memang orang-orang kebiri ini yang sebetulnya mengendalikan kekuasaan!"

"Itu yang membuat maharaja tidak senang, segala perintah disampaikan lewat orang-orang kebiri, dan tidak bisa dipastikan apakah perintah itu akan sampai sama seperti disampaikan oleh maharaja."

"Aduh, jadi siapa sebenarnya yang memerintah di Negeri Atap Langit ini?"

"Bukankah ini yang selalu menjadi masalah? Orang-orang kebiri itu tampaknya saja lemah, tetapi mereka menjadi jalur kerahasiaan, dan dengan begitu juga kekuasaan yang sangat menentukan."

"Itulah! Pesing seperti lao kung!" 1

Mereka bicara sambil melewati kami dan menjauh.

Aku teringat apa yang kualami dengan orang-orang kebiri. Si Tupai yang warungnya menjadi pusat jual beli keterangan rahasia di kaki lautan kelabu gunung batu, dan mati setelah menyerahkan gulungan sejarah orang-orang kebiri; Si Musang yang tubuhnya dipotong-potong lantas dimasukkan ke dalam karung; Si Cerpelai yang mati diracuni di Kampung Jembatan Gantung. Aku sungguh penasaran dengan rahasia negara yang katanya dibagi tiga itu. (bersambung)


1 "Bau (pesing) seperti lao kung (orang kebiri)", adalah perumpamaan yang dihubungkan dengan keadaan tubuh mereka, yang tidak memungkinkan untuk menahan kencing, sehingga merupakan ciri mereka, bahwa dalam jarak 300 meter mereka sudah dapat ditandai karena baunya. Pernyataan yang kemudian menjadi cara untuk menunjuk perilaku politik orang-orang kebiri di dalam istana. Tengok Mitamura, op.cit., h. 38.
Posted by Agung Semeru
Naga Jawa di Negeri Atap Langit Updated at: 4:53 PM
#122 Dalam Kegelapan Mendengar Percakapan 4.5 5 Unknown November 1, 2014 "Bukankah ini yang selalu menjadi masalah? Orang-orang kebiri itu tampaknya saja lemah, tetapi mereka menjadi jalur kerahasiaan, dan dengan begitu juga kekuasaan yang sangat menentukan." "Itulah! Pesing seperti lao kung!" "JANGAN," kataku, "hidupmu selama ini di gunung dan belum pernah bertarung di dalam air." Kuingat pengalamanku bertaru...


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bijak